Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Warga Protes dan Tolak Presiden Terpilih Georgia 

ilustrasi demonstrasi (pexels.com/Life Matters)
ilustrasi demonstrasi (pexels.com/Life Matters)

Jakarta, IDN Times – Ribuan warga Georgia kembali memadati ibu kota Tbilisi pada Sabtu (28/12/2024), memprotes pelantikan presiden baru Mikheil Kavelashvili. Situasi politik di negara ini kian memanas setelah pemerintahan Georgia Dream (GD) dianggap semakin otoriter dan menggagalkan pembukaan pembicaraan keanggotaan Uni Eropa (EU).

Presiden petahana Salome Zourabichvili menolak menyerahkan jabatan, menyebut dirinya sebagai satu-satunya presiden sah.

Dalam aksi yang berlangsung sejak November 2024, demonstran menyuarakan dukungan mereka terhadap integrasi ke EU dan mengutuk keputusan pemerintah yang menunda proses keanggotaan hingga 2028.

Protes ini juga dipicu oleh tuduhan manipulasi dalam pemilu parlemen Oktober 2024, yang memenangkan GD dengan latar belakang dugaan campur tangan Rusia.

1. Pelantikan Kavelashvili dihadang protes massal

Kavelashvili, mantan pesepak bola profesional sekaligus politisi dari GD, dilantik sebagai presiden di tengah gelombang protes. Kavelashvili adalah satu-satunya kandidat dalam pemilu yang dianggap tidak sah oleh oposisi. Zourabichvili menolak legitimasi hasil pemilu ini, menyebutnya sebagai operasi khusus Rusia.

“Saya tetap presiden sah negara ini. Saya akan meninggalkan istana tetapi membawa serta legitimasi, bendera, dan kepercayaan rakyat,” tegas Zourabichvili di hadapan para demonstran, dilansir The Guardian.

Pada Minggu (29/12/2024), di hari pelantikan, ribuan warga Georgia membentuk rantai manusia sepanjang beberapa kilometer di Tbilisi.

Mereka membawa bendera Georgia dan EU, dengan lagu I Want to Hold Your Hand dari The Beatles mengiringi aksi tersebut. Beberapa peserta aksi membawa spanduk bertuliskan “Kebebasan untuk tahanan politik” dan “Kami menuntut pemilu baru”.

2. Konflik internal dan penundaan keanggotaan EU

Dilansir BBC, pada November 2024, GD mengumumkan bahwa pembicaraan keanggotaan EU akan ditunda hingga 2028. Keputusan ini memicu protes yang diwarnai bentrokan antara demonstran dan polisi.

Dalam 10 hari pertama aksi, polisi menggunakan gas air mata dan meriam air, sementara pengunjuk rasa melempar kembang api dan batu. Amnesty International menuding pihak keamanan melakukan penyiksaan terhadap ratusan demonstran yang ditangkap.

“Semua harus memahami bahwa protes ini tidak akan berhenti sampai tuntutan kami terpenuhi,” ujar Teimuraz Tsiklauri, seorang mahasiswa hubungan internasional berusia 23 tahun kepada AFP.

Meskipun pemerintah GD mendukung kebijakan pro-Rusia, survei menunjukkan bahwa 80 persen warga Georgia mendukung integrasi ke EU. Situasi ini mencerminkan ketegangan antara arah kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat.

3. Kritik internasional terhadap Georgian Dream

GD menerima kritik tajam dari komunitas internasional atas pendekatan otoriternya. Uni Eropa (EU) dan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi terhadap mantan perdana menteri sekaligus pendiri GD, Bidzina Ivanishvili. Dia dianggap memanfaatkan posisinya untuk mendukung kepentingan Rusia dan melemahkan demokrasi Georgia.

Presiden petahana Salome Zourabichvili, yang sebelumnya didukung GD pada 2018, kini menjadi oposisi utama partai tersebut. Dalam pidatonya di depan parlemen, ia menyebut kemenangan GD pada pemilu Oktober 2024 sebagai kekalahan demokrasi.

Aspirasi masyarakat untuk bergabung dengan EU kini berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang cenderung mendukung Rusia. Aksi protes yang terus berlangsung menunjukkan perlawanan rakyat terhadap apa yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap masa depan demokrasi dan kebebasan di Georgia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bagus Samudro
EditorBagus Samudro
Follow Us