WHO: Mengungkap Asal COVID-19 Adalah Kewajiban Moral

Jakarta, IDN Times - Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengungkapkan pentingnya menemukan asal-usul COVID-19. Menurutnya, hal itu merupakan sebuah kewajiban moral sekaligus menjadi pelajaran demi mencegah wabah di masa depan.
"Memahami asal-usul #COVID19 dan mengeksplorasi semua hipotesis tetap menjadi: keharusan ilmiah, untuk membantu kita mencegah wabah di masa depan (dan) keharusan moral, demi jutaan orang yang meninggal dan mereka yang hidup dengan #LongCOVID," cuit Ghebreyesus melalui Twitter-nya, pada Minggu (12/3/2023).
Komentar itu ditulis dalam rangka menandai tiga tahun sejak WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemik global pada 11 Maret 2020,
Pekan lalu, sejumlah aktivis, politisi, dan akademisi mengatakan melalui surat terbuka bahwa peringatan tersebut harus berfokus pada pencegahan terulangnya peluncuran vaksin COVID-19 yang tidak merata. Hal ini dianggap telah menyebabkan setidaknya 1,3 juta kematian yang dapat dicegah.
Menurut laporan dari Wall Street Journal, Departemen Energi Amerika Serikat (AS) menyimpulkan bahwa virus corona kemungkinan besar disebabkan oleh kebocoran laboratorium di China. Beijing menyangkal tuduhan tersebut dengan menyebut Washington sengaja melakukan manipulasi politik.
1. Persiapan di masa depan
Menurut dosen di Asosiasi Sekolah Kedokteran Universitas Nasional Australia, Sanjaya Senanayake, mengungkap asal COVID-19 sangat penting demi mempersiapkan dunia menghadapi wabah baru di masa depan, melansir CNA.
“Pelajaran terbesar yang perlu kita ambil dari pandemik ini adalah bahwa hanya karena pandemik besar terakhir terjadi seratus tahun yang lalu, flu Spanyol, bukan berarti pandemik berikutnya tidak akan terjadi lagi,” kata Senanayake.
Apapun penyebab wabah COVID-19, baik itu dari laboratorium atau penularan dari hewan ke manusia, semuanya harus diteliti lebih lanjut untuk mencegah kemungkinan masalah serupa terulang kembali.
“Jika peristiwa ini disebabkan oleh hewan, kita perlu memahami hewan apa itu, dan kita mungkin harus menyesuaikan perilaku kita terhadap hewan tersebut. Kita mungkin harus membentengi pasar basah agar tidak menjadi tempat di mana virus dapat menyebar ke manusia," kata dokter penyakit menular, Amesh Adalja
“Jika itu adalah kebocoran laboratorium, kita harus memahami pelanggaran keamanan apa yang terjadi di laboratorium itu dan bagaimana mencegahnya karena sangat penting bagi orang-orang untuk terus melakukan penelitian tentang virus mematikan, tetapi kita ingin memastikan hal itu dilakukan dengan aman," tambahnya.
2. Dunia mulai beralih ke fase endemik

Sejak tiga tahun dilanda pandemik, negara-negara di dunia kini secara bertahap telah beralih ke fase endemik.
“Secara keseluruhan, kita berada di tempat yang sangat baik karena kami memiliki populasi dunia yang memiliki akses tinggi ke vaksin, dan telah mengembangkan kekebalan,” kata Adalja.
“Kita dapat meredakan masalah kapasitas di rumah sakit karena sains dan teknologi. Masa lalu yang buruk ketika kita tidak memiliki alat dan kekebalan sepertinya sudah berlalu," sambungnya.
Menurut WHO, hingga saat ini lebih dari 750 juta orang telah terinfeksi COVID-19 dan hampir 7 juta di antaranya meninggal dunia. Adapun sekitar 72,4 persen populasi global atau lebih dari 5,5 miliar orang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin.
3. Penyebaran vaksin tidak merata terutama di negara-negara berkembang

Meskipun kemajuan teknologi dan medis telah memungkinkan pengembangan vaksin, alat uji, dan kebutuhan lainnya secara cepat, para ahli mengeluhkan kurangnya kerja sama dalam tingkat pemerintah antarnegara untuk menekan penyebaran kasus COVID-19 di dunia.
“Jadi aspek teknologinya bagus, kita bisa membuat vaksin dan alat tes untuk mengidentifikasi infeksi ini dengan sangat cepat. Tapi mengalokasikannya secara adil cukup menyedihkan,” kata Senanayake.
Penelitian menunjukkan, terdapat perbedaan yang tinggi antara negara kaya dan berkembang dalam hal akses ke vaksin dan sumber daya lainnya.
Negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki tingkat vaksinasi 75 hingga 80 persen pada tahun pertama tersedianya vaksin, sementara negara-negara berpenghasilan rendah memiliki rata-rata di bawah 10 persen, menurut penerbit penelitian Frontiers.