Indonesia Harus Belajar dari Taiwan soal Makan Siang Bergizi Gratis

Artikel ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan MoU antara IDN Times dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan seputar penyediaan informasi teraktual di Taiwan.
Salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto di Indonesia adalah makan siang bergizi gratis (MBG) untuk siswa sekolah. Kebijakan ini menuai kritik tajam karena membebani anggaran dan ditengarai membuat pemerintah harus melakukan efisiensi besar-besaran di kementerian dan lembaga lain.
Sebenarnya, program makan siang bergizi untuk siswa adalah program yang bagus. Berdasarkan laporan dari World Food Programme (WFP) yang dipublikasi pada 2017, makan siang yang disediakan di sekolah berkontribusi terhadap pemenuhan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) dunia.
Program seperti MBG dapat berkontribusi terhadap nirlapar (zero hunger), meningkatnya partisipasi dan kemampuan belajar, dan kesetaraan gender. Secara langsung, penelitian WFP menyebutkan bahwa program makan di sekolah dapat memberi dampak langsung terhadap anak-anak berupa peningkatan nutrisi, kesehatan, serta tingkat pendidikan. Dampak langsung ini kemudian akan berdampak lebih jauh terhadap pengurangan kemiskinan, kesenjangan, dan peningkatan ekonomi.
Secara ekonomi, berdasarkan model ekonomi WFP, setiap satu dolar AS anggaran yang diinvestasikan dalam program makan di sekolah akan membawa 3-10 dolar AS keuntungan ekonomi yang dihitung dari membaiknya kesehatan, pendidikan, dan produktivitas.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa hampir seluruh negara di dunia memiliki program makan di sekolah dan merupakan jaring pengaman sosial yang paling umum.
Negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan telah melaksanakannya sejak beberapa dekade lalu. Taiwan, misalnya, telah melaksanakan program makan siang bergizi di sekolah sejak 1982 sampai saat ini. Pengalaman Taiwan yang terus meningkatkan kualitas program lebih dari empat dekade, dapat memberikan masukan yang positif terhadap perbaikan program yang sama di Indonesia.
Pertama, berdasarkan penelitian dari Andoko, Kuo, dan Liu (2024), program makan bergizi gratis (subsidi penuh) di Taiwan hanya diberikan kepada siswa yang kesulitan finansial, pedesaan tertinggal, atau terpencil, atau daerah tertentu yang ditetapkan pemerintah. Bagi siswa yang tidak memiliki masalah ekonomi, pemerintah Taiwan mensubsidi biaya makan siang siswa tersebut.
Hal ini berbeda dengan Indonesia yang menawarkan makan siang bergizi gratis yang menuai kritik dan penolakan masyarakat. Sebabnya adalah kebutuhan anggaran yang besar memicu efisiensi besar-besaran di kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Indonesia dapat merevisi kebijakan makan bergizi gratis menjadi makan bergizi siswa yang ditanggung renteng antara pemerintah dan orang tua. Kebijakan gratis seharusnya hanya diberikan kepada siswa yang miskin, kesulitan ekonomi, dan untuk daerah tertinggal atau terpencil.
Kedua, pelaksana program seperti Badan Gizi Nasional (BGN) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dapat memulai untuk menggunakan teknologi dalam memantau suhu makanan, sistem posisi global (GPS) untuk manajemen logistik dan pengiriman makanan, dan sistem informasi lain yang dapat dimonitor oleh para pemangku kebijakan.
Taiwan telah melaksanakan penggunaan teknologi bernama Cloud GPS Positioning and Tracking yang memonitor rute pengiriman makanan, waktu, dan suhu makanan. Hal ini digunakan bukan hanya untuk memastikan ketepatan waktu disajikannya makanan, tetapi terkait dengan sumber dan keamanan pangan. Penggunaan teknologi ini juga memungkinkan transparansi lebih baik dalam mengelola program makan bergizi siswa.
Ketiga, transparansi program untuk pengawasan publik yang lebih baik. Transparansi program makan bergizi akan memungkinkan terjadi diskursus yang diharapkan dapat memberikan ruang bagi perbaikan program. Di antaranya adalah pengawasan terhadap anggaran, menu, dan keamanan pangan yang pada akhirnya dapat berdampak terhadap dukungan dan kontribusi dari berbagai pihak untuk menyukseskan program ini.
Kementerian Pendidikan Taiwan (MOE), misalnya, membuat standar mengenai isi dari makan siang siswa di sekolah dan kemudian membuat platform online yang dapat dilihat secara detail tiap harinya oleh siapapun secara online. Dengan demikian, organisasi non-pemerintah (NGO) dan publik dapat melihat menu yang disajikan di tiap sekolah setiap harinya sebagai ruang pengawasan publik.
Selain itu, di Taiwan terdapat organisasi nirlaba bernama Douceur Network sebagai salah satu mitra MOE untuk meneliti mengenai kebijakan makan siang di sekolah di Taiwan, Jepang, dan Korea. Lembaga tersebut juga melakukan berbagai lokakarya, akademik, dan forum publik untuk mendiskusikan perbaikan program.
Keempat, membuka ruang dialog dan kerja sama dengan negara dan organisasi dunia seperti WFP, untuk mendukung kesuksesan program. Indonesia harus berani mengakui ihwal kurangnya pengalaman dalam mengelola program makan siang bergizi di sekolah. Oleh karenanya, pemerintah perlu membangun kemitraan dengan negara dan organisasi lain untuk menyerap praktik-praktik baik serta pelajaran yang didapat dalam pelaksanaan program serupa.
Hal ini juga dapat memberikan kesan bahwa bukan hanya Indonesia yang melaksanakan program makan bergizi di sekolah, tetapi juga negara-negara maju lain seperti Jepang, Korea, dan Taiwan. Taiwan sendiri telah melakukan beberapa program pertukaran makan siang di sekolah dengan Jepang yang kemudian memunculkan frase school lunch diplomacy.
Sebagai penutup, Indonesia bisa mempertimbangkan pengalaman Taiwan dalam melaksanakan program makan siang bergizi bagi siswa. Alih-alih menggratiskan bagi seluruh siswa, pemerintah dapat memberikan subsidi bagi orang tua untuk penyediaan makan siang bergizi di sekolah. Status gratis hanya diberikan kepada siswa miskin atau siswa yang sekolah di daerah tertinggal dan terpencil.
Selain itu, BGN dan SPPG perlu memulai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk memastikan ketepatan waktu, keamanan pangan, dan transparansi program. Indonesia juga perlu membuka kerja sama dan dialog dengan berbagai mitra untuk memastikan bahwa program makan siang bergizi di Indonesia memiliki standar yang sama seperti di negara-negara maju lainnya.
Dengan berbagai perbaikan ini, diharapkan dukungan publik dapat menguat dan mendukung keberlanjutan program. Pada akhirnya, melalui makan bergizi di sekolah, Indonesia di masa depan dapat menuai investasi berupa bangsa yang semakin sehat, cerdas, dan kompetitif dengan bangsa lain.
**
Artikel ini ditulis oleh R. Mokhamad Luthfi. Penulis merupakan Dosen Tetap Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta. Saat ini sedang menempuh S-3 di National Chengchi University dan aktif sebagai Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan periode 2024-2025.