[OPINI] Pendidikan, Plagiarisme dan Potret Literasi Kita

Melawan hegemoni plagiarisme melalui budaya literasi

Fenomena plagiat dalam dunia pendidikan tinggi mulai menyeruak ke permukaan. Persoalan plagiat merupakan bentuk nyata dari gagalnya seorang plagiator memahami esensi pendidikan. Dalam banyak kasus misalnya, plagiarisme merujuk pada sikap hilangnya kesadaran memahami pendidikan sekaligus rendahnya moral plagiator dalam memahami hak cipta orang lain.

Kondisi seperti ini tidak saja mempertegas bahwa potret pendidikan yang salah kaprah namun lebih jauh merupakan gambaran nyata bahwa plagiarisme justru mengerdilkan esensi pendidikan. Hal ini berbarengan dengan sikap instan plagiator di satu sisi mudah mendapatkan pengetahuan dari hasil pemikiran orang lain, sementara di sisi lain menunjukkan derajat kemalasan berpikir seorang plagiator. Di sana sebetulnya pendidikan telah dikurangi dan kehilangan makna di tengah upaya kita membangkitkan pendidikan Indonesia.

Kecenderungan yang hampir pasti tidak pernah absen dalam lingkungan pendidikan ialah orang menginginkan sesuatu dengan cepat dan mudah. Sementara ruang pendidikan sebagai media yang menjaring dan membentuk manusia untuk berpikir kehilangan ranah ketika dihadapkan di depan mentalitas seorang plagiator.

Pendidikan telah melahirkan wajah kusam, penuh bobrok dan membentuk manusia yang malas berpikir karena dengan mudah melakukan upaya plagiarisme. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang kita tanamkan belum cukup matang, jika tidak mengatakan belum memahami secara utuh esensi pendidikan.

Harus diakui pendidikan dalam kondisi seperti ini telah menghadirkan suatu kecacatan akibat sikap instan seorang plagiator. Anehnya plagiarisme itu dilakukan dalam rangka mencapai gelar akademik (S1, S2 dan S3) yang secara khusus telah menyangkal gelar akademik tersebut. Ini perlu dilihat tidak sekadar bahwa plagiator mudah mendapatkan pengetahuan melalui kerja plagiarismenya, namun secara nyata lebih menggambarkan keburukan wajah pendidikan itu sendiri. Alih-alih pendidikan harus menciptakan ruang berpikir namun seketika kolaps di hadapan plagiator.

Memerangi Plagiarisme

Plagiarisme pada dasarnya merupakan ilusi pengetahuan dari plagiator terhadap karya orang lain. Ilusi pengetahuan di samping menimbulkan keburukan dari plagiator, di satu sisi menunjukkan lemahnya sikap berpikir. Kurangnya pemahaman serta di dukung dengan literasi yang rendah sangat besar kemungkinan seseorang terlibat dalam sikap plagiator. Literasi sebagai ujung tombak dalam pendidikan justru kian terdepak dari pusat pendidikan karena seorang plagiator telah menemukan cara termudah yaitu melalui upaya plagiat. Di sana sebetulnya literasi yang kian didengungkan di ruang pendidikan sama sekali tidak masuk ke dalam ruang di mana seharusnya literasi perlu dikembangkan.

Kurangnya kesadaran dan miskinnya literasi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, komunitas dan sekolah menyebabkan orang mudah menerima dan melakukan upaya plagiarisme sebagai bentuk sikap untuk memudahkan jalan menuju pada keinginan mendapatkan gelar akademik. Sebetulnya logika pendidikan yang bersumbu pada ruang belajar telah disangkal dengan logika bahwa pendidikan bertujuan mendapatkan gelar. Sehingga dengan menguatnya logika semacam ini, plagiator mudah melakukan upaya plagiat tanpa rasa bersalah. Justru inilah potret pendidikan yang salah kaprah yang pada gilirannya orang mudah melakukan plagiat.

Lantas, apakah pendidikan kita betul-betul mengedepankan aspek belajar? Bagi saya, di sana pendidikan telah menghadirkan kesesatan berpikir yang merusak nilai pendidikan dan esensi pendidikan. Kemerdekaan pendidikan sebagai jargon utama dalam ranah pendidikan seketika berantakan ditengah kesadaran kita untuk memerangi praktik plagiat.

Tanggung Jawab Bersama

Menyeruaknya kasus plagiarisme dalam lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan suatu bentuk keburukan terhadap wajah pengembangan pendidikan. Pendidikan sebagai nafas perubahan akhirnya terjerembab dalam logika plagiarisme, di satu sisi sebagai akibat pemahaman akan pendidikan yang salah kaprah.

Di sisi yang lain bentuk nyata kurangnya tanggung jawab dalam mengembangkan pendidikan sebagai basis utama bagi terwujudnya perubahan. Di sana sebetulnya plagiarisme tidak saja mengingkari esensi pendidikan namun berupaya menyangkal esensi tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi pendidikan kita ke depan jika plagiarisme tidak disikapi secara serius.

Untuk itu tanggung jawab pendidikan dalam rangka mengurangi plagiarisme harus dimulai dari pemahaman bahwa pendidikan dimulai dengan sikap terbuka. Pendidikan sebagai ruang yang mempertemukan beragam ide harus hadir dalam kerangka bahwa pendidikan harus bersumbu pada sikap berpikir.

Sebagai sebuah media berpikir, orang mesti menyadari bahwa ruang pendidikan tidak boleh hadir sebagai bentuk bahwa setiap orang yang terinklusi dalam ruang pendidikan mendasarkan pemahaman bahwa tujuan pendidikan ialah mendapatkan gelar akademik. Bentuk dan cara berpikir demikian mempertegas bahwa pendidikan hanya akan melahirkan lebih banyak plagiator baru yang siap merusak nilai pendidikan.

Di satu sisi pemahaman yang bersumbu pada mendapatkan gelar akademik akan menciptakan orang-orang yang malas berpikir. Kemalasan berpikir merupakan bentuk lain dari upaya untuk menyangkal esensi pendidikan. Cara pandang seperti ini harus diperangi bahkan bila perlu dipatahkan, karena akan melahirkan pendidikan yang egois dan salah kaprah. Namun pendidikan harus berkiblat pada pemenuhan bahwa orang-orang yang terinklusi dalam ruang pendidikan punya tanggung jawab merawat esensi pendidikan, yaitu bagaimana mengedepankan aspek keberagaman ide.

Persoalan yang sudah akut di Indonesia terutama dalam pendidikan ialah memahami keberagaman ide sebagai sebuah kesalahan. Namun justru tujuan pendidikan ialah ingin agar perbedaan ide dan ruang dialektika harus diciptakan. Sehingga orang akan mudah berpikir dan sikap plagiarisme dapat dihindari.

Potret pendidikan dengan corak pemikiran seperti ini akan mewarnai pendidikan sebagai sebuah ruang yang memperbarui sebuah pencapaian ke arah kemajuan bangsa. Untuk itu, tanggung jawab dalam merumuskan pendidikan yang humanis dan dengan cita-cita ke arah perubahan harus dimulai dengan keyakinan bahwa pendidikan ialah soal bagaimana kita harus berpikir dan melahirkan lebih banyak ide dan gagasan.

Pada akhirnya, menguatnya praktik plagiarisme merupakan bentuk nyata dari lemahnya literasi yang kita bangun dalam diri. Alih-alih literasi perlu dikembangkan, namun kita malah meminggirkan literasi karena didorong dengan sikap plagiarisme yang lebih mudah dan cepat mendapatkan pemikiran baru. Di sinilah kita harus memahami bahwa literasi harus dikembangkan dan digalakkan dalam rangka mengurangi praktik plagiarisme.

Baca Juga: [OPINI] Kampus, Perempuan dan Ruang Kesetaraan Gender

Arsi Kurniawan Photo Writer Arsi Kurniawan

Senang Menulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya