Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Lebaran di Tengah Kehilangan dan Ketidakpastian

ilustrasi lebaran (unsplash.com/@visualbywahyu)

Tahun ini adalah Lebaran pertama tanpa Bapak. Tahun lalu, beliau masih ada, masih di tengah keluarga kami. Tapi sekarang, hanya aku dan Ibuk yang merayakan bersama di rumah. Adik tetap datang, tapi dia sudah punya keluarga sendiri—yang tentu saja menjadi prioritas utama. Rasanya aneh, sepi, dan jujur saja, gak ada euforia yang biasanya menyertai momen ini.

Berduka itu bukan sesuatu yang selesai dalam setahun. Kadang rasanya sudah mulai terbiasa, tapi di hari-hari besar seperti ini, kehilangan itu kembali terasa begitu nyata. Gak ada lagi suara Bapak yang mengingatkan kami untuk segera bersiap ke masjid, gak ada lagi obrolan panjangnya tentang hal-hal kecil yang dulu mungkin terasa remeh, dan yang ternyata paling aku rindukan adalah es teh manis bikinan bapak. Bapak tahu aku suka banget minum es teh manis, tiap kali aku pulang Bapak gak pernah absen untuk selalu bikinin aku segelas es teh manis, tengah malah sekalipun saat Bapak tahu aku masih belum tidur.

Ngomong-ngomong, berduka itu aneh—kadang datang tiba-tiba, di momen yang gak diduga. Bisa saja saat mencium aroma opor, saat melihat kursi kosong di ruang tamu, atau bahkan saat mendengar ucapan selamat Lebaran dari orang lain. Ada perasaan hampa yang sulit dijelaskan, seperti ada bagian yang hilang dan gak akan pernah kembali. Tapi di saat yang sama, kenangan-kenangan itu juga menjadi pengingat bahwa yang pergi gak benar-benar hilang, mereka tetap ada dalam setiap cerita yang kita ingat dan setiap kebiasaan yang masih kita jalani.

Yang membuat grieving semakin rumit adalah perasaan bertabrakan yang muncul di dalam diri. Di satu sisi, aku merasa kehilangan ini masih begitu besar, masih begitu nyata. Tapi di sisi lain, ada momen-momen ketika aku mulai terbiasa dengan ketiadaan Bapak, dan itu justru membuat rasa bersalah muncul. Apakah aku sudah terlalu cepat melupakan? Apakah aku gak cukup berduka? Kenyataannya, hidup memang terus berjalan, tapi kehilangan tetap meninggalkan ruang kosong yang gak bisa diisi dengan hal lain. Mungkin ini bukan tentang melupakan, tapi tentang menerima bahwa segala sesuatu kini berbeda, dan aku harus belajar untuk berdamai dengan itu.

Sebelumnya, aku selalu punya ekspektasi tertentu tentang Lebaran. Seenggaknya ada kebersamaan, obrolan panjang setelah salat Id, atau meja makan yang penuh dengan hidangan favorit. Tapi tahun ini, aku menyadari bahwa harapan-harapan besar itu perlahan bergeser menjadi sesuatu yang lebih sederhana: cukup dengan keberadaan orang-orang yang masih ada. Aku dan Ibuk duduk bersama, makan seadanya, dan berbincang ringan. gak ada kemeriahan, tapi tetap ada kehangatan.

Di luar rumah, dunia terasa semakin gaduh. Politik yang memanas, kebijakan yang dipertanyakan, dan keresahan masyarakat yang terus muncul di media. Semua itu membuat suasana Lebaran tahun ini terasa jauh dari kata damai. Tapi justru di tengah semua ketidakpastian ini, aku semakin sadar bahwa momen-momen kecil seperti berbincang dengan Ibuk atau sekadar menikmati ketupat sederhana jauh lebih nyata daripada sekadar mengikuti hiruk-pikuk yang tak bisa aku kendalikan.

Lebaran tahun ini bukan tentang kemeriahan, bukan tentang baju baru atau makanan berlimpah. Ini tentang menerima keadaan, tentang menghargai hal-hal kecil, dan tentang menyadari bahwa yang tersisa tetaplah berarti. Gak ada lagi ekspektasi muluk-muluk, hanya mencoba menjalani semuanya apa adanya. Dan mungkin, itu sudah cukup.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ernia Karina
Siantita Novaya
Ernia Karina
EditorErnia Karina
Follow Us