Kalau Jadi Presiden Jokowi Sehari, akan Kubuat Keputusan Perlidungan Hak untuk Masyarakat Minoritas

Artikel finalis kompetisi menulis #WorthyStory IDNtimes.com
Siang bolong, cuaca panas. Saya duduk di bangku teras. Jikalau ada abang tukang es lewat, niscaya saya akan beli satu gerobak demi menyegarkan tenggorokan yang kering. Namun, apa daya, tidak ada tukang es lewat, yang ada hanya pikiran selintas yang cukup abstrak, “Enaknya kalau jadi presiden, panas begini tidak akan kepanasan, kalau ingin es pun bisa kapan saja minta ajudannya untuk membelikan”. Kemudian datang pikiran yang tidak kalah abstraknya: saya ingin jadi Pak Jokowi. Walau hanya sehari.
Kursi yang saya duduki ini empuk sekali, berada di tengah ruang kerja luas dan sejuk. Namun saya segera mengabaikan itu, mata saya tertumbuk pada sesuatu di hadapan saya. Bukan es, melainkan setumpukan map berwarna putih gading di atas meja. Saya mengambil yang paling atas, lalu membukanya dengan hati-hati. KASUS INTOLERANSI.

Map itu berisi beberapa lembar kasus orang-orang Indonesia yang dilabeli minoritas, yang tidak mendapat tempat di negerinya sendiri. Ada yang dari kepercayaan minoritas, ada yang dari suku minoritas, ada pula yang dari orientasi seksual minoritas. Membaca lembar demi lembar kasus ini membuat hati saya nyes. Segera saya telepon orang kepercayaan saya, memberi perintah kepada mereka untuk menyelesaikan kasus-kasus ini.
Orang kepercayaan saya ada yang bertanya, kok, mendadak sekali? Saya jawab, karena inilah masalah dasar Indonesia dewasa ini. Setiap hari saya melihat di mana-mana ada penyerangan, baik itu yang lahir maupun itu yang batin, terhadap minoritas tadi. Kalau begitu terus, bagaimana bisa kita menyelesaikan masalah lainnya? Padahal yang dibutuhkan untuk itu adalah dengan kerjasama dari seluruh warga negara Indonesia.

Alih-alih memikirkan masalah lain, seperti ekonomi dan politik, orang-orang justru sibuk memikirkan bagaimana agar ia dapat hidup sebagaimana yang ia inginkan, dengan memegang apa yang ia yakini. Maka dari itu, saya bergerak dari hal ini. Intoleransi tidak dapat ditoleransi di negeri ini.
“Siap laksanakan!”, katanya.
Setelah lama kemudian, orang kepercayaan baru menghubungi lagi. Bagaimana caranya, Pak Jokowi? Dibuat saja Keputusan Presiden tentang perlindungan hak bagi minoritas.
"Siap laksanakan!", katanya lagi.
***

"Ah, andai saja semua ini nyata."
Dua puluh empat jam itu waktu yang sangat cukup untuk dipakai berandai-andai, tapi lebih sangat cukup untuk dipakai berbuat. Coba saja kita bersikap menerima yang minoritas di sekitar kita. Berbuat sesuatu demi Indonesia yang lebih baik, ternyata tidak perlu jadi presiden dulu.
#WorthyStory
