Asosiasi Tekstil Apresiasi Pemerintah Tolak Usulan BMAD Benang

- API memberikan apresiasi kepada pemerintah atas penolakan usulan BMAD terhadap impor benang filamen sintetis asal China
- 101 pengusaha tekstil menyarankan agar pemerintah mengatur harmonisasi kebutuhan impor POY dan DTY dengan mempertimbangkan keseimbangan antara permintaan dalam negeri dan kapasitas produksi nasional
Jakarta, IDN Times – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memberikan apresiasi kepada pemerintah atas keputusan Kementerian Perdagangan yang tidak memproses lebih lanjut usulan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap impor produk benang filamen sintetis tertentu asal China.
"Kami mengapresiasi langkah pemerintah yang bersedia mendengarkan masukan dari pelaku usaha berdasarkan informasi terkini dan dinamika pasar global," ungkap Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API, Anne P. Sutanto, dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
1. Terima surat petisi dari 101 pengusaha tekstil

Anne mengungkapkan dirinya menerima surat petisi dari 101 pengusaha tekstil sekitar tiga bulan lalu. Saat itu, perwakilan para pengusaha ini juga dipertemukan dengan APSyFI.
Pengenaan anti-dumping terhadap produk benang partially oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY) bukanlah solusi yang tepat bagi industri hulu yang memproduksi kedua jenis benang tersebut.
Menurutnya, para pengusaha yang mengajukan petisi mengusulkan agar pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian, dapat mengatur harmonisasi kebutuhan impor POY dan DTY dengan mempertimbangkan keseimbangan antara permintaan dalam negeri dan kapasitas produksi nasional.
"Dengan demikian, kekhawatiran mengenai praktik dumping dari negara lain tetap dapat diatasi melalui pengaturan impor yang proporsional dan berbasis pada kinerja masing-masing pihak," ujar Anne.
2. Kebutuhan benang untuk jenis POY lebih besar dibandingkan kapasitas produksi dalam negeri
![Industri tekstil semakin ambruk. [Foto: Dok. Setkab]](https://image.idntimes.com/post/20241216/1000029207-60f505c8ad1a71e78933bc23a2e2ea01-946fa3b2193893b0830b7f7988f53ee6.jpg)
Dalam dua tahun terakhir, kebutuhan produk benang POY di Indonesia tercatat hampir 10 kali lebih besar dibandingkan kapasitas produksi dalam negeri.
"Pengenaan anti-dumping justru akan menurunkan daya saing industri tekstil nasional, terutama bagi 101 perusahaan yang telah mengajukan petisi," ujarnya.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran terhadap kebijakan tersebut dapat memperburuk kondisi industri dengan meningkatnya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) serta potensi penutupan pabrik tekstil.
3. Pengusaha siap serap produksi POY dalam negeri
Menurutnya, perwakilan dari 101 pengusaha yang mengajukan petisi menyatakan kesiapan mereka untuk menyerap kapasitas produksi POY dalam negeri dengan menerapkan praktik bisnis yang sesuai dengan standar yang berlaku.
Mereka bahkan mengusulkan agar pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian, dapat mengatur harmonisasi kebutuhan impor POY dan DTY berdasarkan keseimbangan antara permintaan dalam negeri dan kapasitas produksi nasional.
"Dengan pengaturan yang proporsional dan berbasis pada kinerja masing-masing pihak, kekhawatiran terhadap praktik dumping dari negara lain tetap dapat diantisipasi secara efektif," tutur Anne.
4. Alasan pemerintah tak kenakan BMAD
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso memutuskan untuk tidak mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.
"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas. Kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri," tutur Budi.
BMAD merupakan pungutan pajak atau bea kepada produk impor yang dijual di bawah harga pasaran. Karena produk impor yang dijual di bawah harga pasar dalam negeri dikhawatirkan memukul produk lokal.