"Kita harus menangani anak-anak dengan melakukan screening di sekolah-sekolah, memberikan kacamata kepada yang membutuhkan sheingga nanti pembelajaran lebih baik. Pencapaian di kemudian hari akan lebih baik lagi dan kita mendukung Indonesia Emas 2045," ujarnya di Bandung, Jawa Barat pada Kamis (09/10).
Ancaman Indonesia Emas: 23 Juta Anak Sekolah Penglihatannya Terganggu

- Diperkirakan 23 juta anak sekolah di Indonesia mengalami gangguan penglihatan, terutama kelainan refraksi.
- Kelainan refraksi meningkat saat pandemi COVID-19 karena peningkatan screen time dan kurangnya kegiatan outdoor.
- Orang tua dan guru harus memperhatikan tanda-tanda gangguan penglihatan pada anak, misalnya jika anak sering memicingkan mata ketika melihat papan tulis.
Studi menunjukan sebanyak 23 juta atau 44 persen dari 52,9 juta anak usia sekolah di Indonesia mengalami gangguan penglihatan, terutama disebabkan oleh kelainan refraksi. Jika masalah ini tidak ditangani, maka Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai.
Pada usia yang ke-100 tahun, Indonesia akan menikmati bonus demografi berupa jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) yang lebih banyak dibandingkan usia nonproduktif. Kondisi ini jelas bisa menjadi momentum besar untuk mendorong kemajuan ekonomi.
Penanganan permasalahan mata untuk anak
Direktur Utama RS Mata Cicendo, Dr. dr. Antonia Kartika, SpM(K), M.Kes mengatakan bahwa mereka harus menangani anak-anak dan melakukan skrining di sekolah-sekolah, memberikan alat bantu kepada mereka yang membutuhkan.
Kelainan refraksi yang meningkat saat pandemi

Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang meningkat tajam, terutama di daerah saat pandemi COVID-19. Dijelaskan bahwa pada masa pandemi kebanyakan dari kegiatan dilakukan secara daring alias online, sehingga screen time meningkat tajam.
Kebiasaan ini membuat mata berakomodasi terus-menerus, ditambah dengan koreksi kacamata yang tidak tepat, bisa menambah kelainan refraksi.
"Sebenarnya pada anak-anak kelainan refraksi itu dapat dicegah kejadiannya ataupun progresivitasnya dengan outdoor activities. Jadi kita kena sinar matahari, kita melakukan kegiatan motorik kasar dengan berlari-lari ataupun loncat-loncat, itu sebenarnya salah satu kegiatan yang bisa mencegah progresivitas dari keliruan refraksi," kata dr. Yeni Dwi Lestari, Sp.M(K) dari Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI).
Namun, saat masa pandemi, semua pembelajaran dilakukan online. Belum lagi anak-anak yang tidak bisa keluar rumah karena adanya social distancing, membuat mereka tidak bisa melakukan kegiatan motorik kasar dan terkena sinar matahari. Hal ini membuat progresivitas kelainan refraksi menjadi meningkat.
Kenali tanda-tandanya
Anak-anak sering kali tidak bisa menyampaikan keluhan penglihatannya dengan jelas, terutama jika usianya masih di bawah 5 tahun. Karena itu, peran orang-orang di sekitar anak sangat penting untuk mendeteksi dini adanya gangguan pada mata.
Pihak yang paling banyak menghabiskan waktu bersama anak tentu adalah orang tua dan guru. Keduanya memiliki peran besar dalam mengenali tanda-tanda awal gangguan penglihatan.
Guru, misalnya, dapat memperhatikan perilaku anak di kelas. Jika anak selalu ingin maju ke depan saat pelajaran, sering memicingkan mata ketika melihat papan tulis atau menunjukkan penurunan performa akademis, hal tersebut bisa menjadi tanda bahwa penglihatannya bermasalah.
Selain itu, tanda lain yang patut diwaspadai adalah anak sering menabrak saat berjalan, terlihat sering jatuh tanpa sebab jelas, atau memiliki mata juling (mata tidak sejajar). Kondisi tersebut bisa menjadi indikasi adanya gangguan pada koordinasi mata.
Jika orang tua atau guru mencurigai anak mengalami gangguan penglihatan, sebaiknya segera bawa anak untuk pemeriksaan mata. Deteksi dan intervensi dini sangat penting agar masalah penglihatan tidak mengganggu tumbuh kembang dan proses belajar anak di kemudian hari.