Ada 1800-an Anak yang Orang Tuanya Terlibat Kasus Terorisme

1. Mereka terpapar ajaran radikalisme dengan kekerasan sejak di SD

Cerita RES yang baru berusia 16 tahun, adalah salah satunya. Menurut data yang dikumpulkan BNPT, pelajar sebuah sekolah menengah di provinsi Jawa Barat ini bergabung dengan kelompok Bahrum Naim.
Bahrum Naim disebut polisi sebagai dalang ledakan Bom di Jalan Thamrin, Jakarta.
RES diduga belajar membuat senjata api bom asap beracun dari internet. Sejak di kelas 5 SD RES sudah mengenal media sosial dan aktif menggunakan akun Facebook-nya. Dari situ terlihat kecenderungan RES mengakses informasi dari situs Islam garis keras. Keluarganya sempat mengajaknya belajar mengaji. Namun RES menganggap apa yang disampaikan guru mengaji tidak sesuai dengan pemahamannya.
IAH, 17 tahun, mencoba meledakkan bom di Gereja Santo Yoseph di Medan, Agustus 2016. Untung tidak ada korban jiwa tewas.
Pelaku sempat melukai pastor dengan menikam tangannya. Kepada polisi, IAH mengaku terinspirasi dari informasi di internet tentang serangan teroris di Prancis.
Pada bulan Juli 2016, seorang pastor di Perancis tewas digorok oleh dua orang tak dikenal. Keduanya juga menyandera beberapa orang. ISIS mengklaim pelaku adalah “tentara” mereka.
Mundur jauh ke belakang, ke Tragedi Bom Bali I yang menjadi titik awal maraknya serangan teror pasca Reformasi.
Terpidana seumur hidup kasus terorime, Ali Imron alias Alik mengaku sudah memiliki pemikiran radikalisme sejak duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD).
Ali Imron yang tergabung dalam aksi bom Bali 2002 ini terkontaminasi paham teroris dari kakak kandungnya almarhum Ali Ghufron alis Mukhlas yang didakwa dengan hukuman mati, dan sudah dieksekusi.
Dari film Jihad Selfie kita mendapatkan pengakuan Teuku Akbar Maulana, remaja usia 17 tahun asal Aceh, yang nyaris menjadi tentara Abu Bakr Al-Baghdadi, pemimpin ISIS.
“Usia teroris makin belia. Mereka dalam rentang usia yang sedang aktif menggunakan medium komunikasi internet,” kata Kepala BNPT Komisaris Jendral Polisi Suhardi Alius.
Anak-anak pelaku teror bom di Surabaya dipengaruhi oleh orangtuanya untuk melakukan aksi jihad, dengan meledakkan bom bunuh diri.
Jadi, ada pengaruh keluarga. Besar pula pengaruh dari informasi di internet.
2. Radikalisme masuk ke kampus sudah sejak lama

Data yang diperoleh BNPT ini bisa menjadi friendly reminder pasca-serangan berdarah di Jawa Timur 13-14 Mei 2018.
BNPT melakukan riset terhadap 110 pelaku tindakan terorisme, hasilnya, pelaku paling banyak ada di rentang usia 21-30 tahun (47,3 persen), setelah itu pada rentang usia 31-40 tahun (29,1 persen). Yang berusia di bawah 21 tahun ada 11,8 persen. Data ini berdasarkan penelitian 2012.
Tapi melihat kasus-kasus yang ada belakangan ini, fakta bahwa teroris berusia semakin belia itu sulit dibantah. Bahkan melibatkan anak-anak, atas pengaruh orang tuanya.
Survei di tahun 2012 mengenai potensi radikalisme di lingkungan mahasiswa menunjukkan 26,7 persen setuju jihad dengan penggunaan kekerasan. Yang tidak setuju 68,4 persen.
Survei di atas dilakukan dengan sampel mahasiswa Universitas Islam Negeri/IAIN di UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Makassar, UIN Surabaya, UIN Banjarmasin, UIN Sumatera Utara dan IAIN Padang.
Temuan BNPT lainnya soal tingkat pendidikan pelaku tindak terorisme. Faktanya, teroris berasal dari kalangan terdidik.
Sebanyak 63,6 persen lulus sekolah menengah atas, 16,4 persen lulus dari universitas.
“Mereka ini terpapar intensif dengan teknologi komunikasi dan berpotensi untuk menjadi perekrut juga,” ujar Suhardi Alius.
Dalam kasus serangan teror di Surabaya, pelakunya dari kelas ekonomi menengah.
Survei terbaru yang dilakukan oleh Wahid Foundation di tahun 2016 menunjukkan angka yang membuat kita perlu waspada. Menurut proyeksi, dari 150 juta penganut muslim di Indonesia, sekitar 7,7 persen atau 11,5 juta orang berpotensi bertindak radikal sedangkan 0,4 persen atau 600 ribu orang pernah terlibat.
Mengenai persepsi terhadap ISIS, Setara Institut pernah melakukan survei terhadap pelajar sekolah menengah umum di Jakarta dan Bandung pada tahun 2015. Hasilnya, 16,9 persen menyatakan bahwa ISIS adalah pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam.
3. Ada 1800 anak mantan napi teroris. Bagaimana nasib mereka?

“Kalau dihitung, dari semua napi kasus teroris, baik yang masih menjalani hukuman maupun yang sudah kembali ke masyarakat, ada 1.800 anak. Kalau negara tidak memberi perhatian, mereka berpotensi mewarisi semangat jihad yang salah, sebagaimana dilakukan ayahnya,” kata Khoirul Ghozali.
Khoirul adalah mantan narapidana teroris kasus perampokan bank CIMB Niaga di Medan tahun 2010. Dia mengatakan hal ini berdasarkan pengalaman pribadi.
Khoirul kini mengelola Pondok Pesatren Al Hidayah di kawasan Deli Serdang, Sumatera Utara. Pesantren ini adalah pesantren pertama di Indonesia yang menjalankan program deradikalisasi untuk anak-anak mantan narapidana terorisme, maupun yang orang tuanya masih menjalani tahanan di penjara.
Jumlah 1.800-an itu tentu terus bertambah. Kita tentu cemas dengan masa depan dari AA (8 tahun), bocah yang selamat dari kasus bom bunuh diri ke Polresta Surabaya yang dilakukan orang tua dan kakak-kakaknya.
Bagaimana mengelola masa depan bagi bocah sekecil itu, adalah sebuah pekerjaan yang besar untuk program deradikalisasi yang selama ini dikelola BNPT bersama 17 kementerian dan lembaga.
Belum lagi mendeteksi bagaimana merasuknya paham radikalisme, jihad dengan mengorbankan nyawa orang lain dan diri sendiri di kalangan muda.
Sebenarnya ini lebih penting ditangani segera ketimbang menggunakan “daya sengat” dari Perubahan UU Nomor 15 Tahun 2003 yang baru disahkan Jumat (18/5/2018).
Bayangkan jika penanganan terhadap 1.800-an anak itu salah, dan mereka justru merasa dendam atas perlakukan kepada orang tuanya?
Apa yang bisa kita lakukan bersama sebagai masyarakat Indonesia?