Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

26 Pakar Kirim Surat Terbuka untuk Puan dan Jokowi, Tolak Revisi UU MK

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 26 akademisi dan pakar di bidang hukum tata negara yang tergabung di dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) mengirimkan surat terbuka bagi Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani. Mereka dengan tegas menolak rancangan perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk disahkan di dalam rapat paripurna. Puluhan akademisi menilai ganjil di periode anggota DPR yang sudah memasuki masa lame duck (bebek lumpuh), presiden dan DPR hendak mengesahkan RUU yang penting bagi kekuasaan kehakiman. 

"Kami menyatakan sikap agar DPR dan presiden segera menghentikan pembahasan dan tidak mengesahkan rancangan perubahan keempat UU MK karena substansinya mengancam prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan independensi MK," demikian isi surat terbuka yang dikutip pada Senin (27/5/2024). 

Dari puluhan akademisi itu, ada sejumlah nama yang sudah dikenal oleh publik, antara lain pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, Denny Indrayana, Bivitri Susanti, Titi Anggraeni, Zainal Arifin Mochtar, Susi Dwi Harjanti hingga Herlambang P. Wiratraman. 

IDN Times mengonfirmasi kepada Feri Amsari soal surat terbuka yang diteken bersama CALS. Dia pun membenarkan adanya surat itu. 

"Iya, saya ikut meneken surat terbuka bersama CALS," kata Feri melalui pesan pendek pada Senin malam. 

1. Lima alasan rancangan perubahan keempat UU MK dinilai kontroversial

Susana sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (3/4/2024). (IDN Times/Aryodamar)

CALS menyebut ada lima alasan mengapa revisi keempat UU MK ini dinilai kontroversial. Pertama, perubahan terhadap UU MK kerap bersifat reaksioner atas satu peristiwa tertentu. Proses revisi tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. 

"Perencanaan perubahan keempat UU MK tidak terdaftar dalam program legislasi nasional tahun 2020-2024. Selain itu, revisi UU MK juga tidak terdaftar dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2024 atau dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024," ujar para akademisi di CALS itu. 

Alasan kedua, pembahasan di pembicaraan tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup dan tergesa-gesa. Bahkan, ada satu fraksi yaitu PDI Perjuangan dan sejumlah anggota komisi III DPR yang tak mengetahui adanya pembahasan revisi keempat pada pembicaraan tingkat I. 

Alasan ketiga, DPR dan presiden mengabaikan partisipasi yang bermakna. Kanal partisipasi publik ditutup. 

"Dokumen perancangan undang-undang seperti RUU dan naskah akademik tak dapat diakses secara formal oleh publik," kata mereka. 

Alasan keempat, pembahasan revisi keempat UU MK memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju ke pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan revisi tersebut. Kelima, pembahasan revisi keempat dilakukan di masa reses bukan di masa sidang yang seharusnya. 

"Seharusnya, DPR fokus untuk menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut. Bukan malah kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman," tutur mereka. 

2. Komposisi hakim di MK ingin diisi sesuai kepentingan DPR dan presiden

Ketua sidang panel tiga Hakim Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama Hakim Konstitusi Anwar Usman (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) memimpin sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

CALS pun mengaku heran terhadap revisi yang dilakukan UU MK. Sebab, pembentuk undang-undang terlihat ingin mengotak-atik komposisi hakim konstitusi di MK. 

"Tujuannya agar terisi jajaran yang lebih sesuai dengan kehendak DPR dan presiden. Pasal 23A ayat (2), (3) dan (4) perubahan keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul. Pengaturan ini seolah hendak mengancam independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusionalitas MK," kata CALS. 

Sebab, hakim konstitusi akan tergantung pada kehendak lembaga pengusul. CALS menegaskan kepada DPR dan presiden bahwa MK merupakan lembaga negara yang memainkan peran checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif. 

"MK memiliki kedudukan sejajar presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA). MK bukan bersifat subordinat terhadap lembaga pengusul. Sehingga praktik recall tidak dapat dibenarkan. Di negara demokrasi konstitusional modern pun, tak pernah ada praktik demikian dan tidak pernah diwajarkan," ujar CALS. 

Selain itu, di dalam pasal 87 dalam draf revisi UU MK mengindikasikan adanya upaya menyaring hakim konstitusi incumbent. Caranya, dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul. 

"Terdapat lima hakim konstitusi yang harus memperoleh restu dari lembaga pengusul. Hal itu akan sarat konflik kepentingan," tutur mereka. 

3. Fraksi PDIP akan sampaikan nota keberatan bila RUU MK masuk ke paripurna

Ketua Komisi III DPR, Bambang 'Pacul' Wuryanto. (IDN Times/Aryodamar)

Sementara, di dalam rapat kerja nasional, PDI Perjuangan sudah menyatakan sikap penolakan terhadap revisi keempat UU MK. Sekretaris Fraksi PDIP DPR Bambang 'Pacul' Wuryanto mengatakan pihaknya mempertimbangkan untuk menyampaikan minderheit nota atau nota keberatan atas RUU MK itu jika nantinya bakal disahkan di rapat paripurna DPR.

"Tentu saja kan kita minderheit nota," ujar Bambang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Senin (27/5/2024). 

Ketika ditanya apakah sikap keberatan itu bakal diikuti juga oleh Menkum HAM Yasonna Laoly, Bambang menyebut pejabat di level eksekutif memiliki birokrasi tersendiri. Yasonna, kata Bambang, akan tegak lurus dengan kebijakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

"Tentu lain. Kalau eksekutif itu kan tegak lurusnya sama presiden. Jadi beda, harus dibedakan ya," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Dwifantya Aquina
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us