57 Anak di Gaza Meninggal Kekurangan Gizi sejak Maret 2025

- 57 anak di Gaza meninggal karena kekurangan gizi sejak blokade bantuan dimulai pada 2 Maret 2025.
- Seluruh populasi Gaza menghadapi kekurangan pangan akibat perang dan pembatasan bantuan, satu dari lima orang terancam kelaparan parah.
- Stok makanan dan layanan kesehatan menipis, WHO kesulitan mempertahankan dukungan bagi pusat perawatan malnutrisi di Gaza.
Jakarta, IDN Times - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sedikitnya 57 anak di Gaza telah meninggal karena kekurangan gizi sejak dimulainya blokade bantuan pada 2 Maret 2025. Badan tersebut menggambarkan situasi di Gaza saat ini sebagai salah satu krisis kelaparan terburuk di dunia.
Laporan terbaru dari Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) mengungkapkan bahwa seluruh populasi Gaza telah menghadapi kekurangan pangan akibat 19 bulan perang dan pembatasan bantuan. Selain itu, satu dari lima orang kini terancam mengalami kelaparan parah.
“Jika situasi ini terus berlanjut, hampir 71 ribu anak di bawah usia 5 tahun diperkirakan akan mengalami kekurangan gizi akut selama 11 bulan ke depan,” kata Richard Peeperkorn, perwakilan WHO untuk Tepi Barat dan Gaza. Ia menambahkan bahwa hampir 17 ribu ibu hamil dan menyusui juga berisiko mengalami kekurangan gizi.
1. Warga Gaza terperangkap dalam siklus berbahaya
Peeperkorn menjelaskan bahwa warga Gaza terperangkap dalam siklus berbahaya, di mana kekurangan gizi melemahkan sistem kekebalan tubuh, penyakit menyebar dengan cepat karena kurangnya air bersih dan sanitasi, sementara akses terhadap layanan kesehatan hampir tidak ada.
“Tanpa makanan bergizi yang cukup, air bersih, dan akses terhadap layanan kesehatan, seluruh generasi akan terkena dampaknya secara permanen,” katanya, memperingatkan tentang risiko pertumbuhan terhambat, gangguan perkembangan otak, dan masalah kesehatan kronis lainnya.
Perwakilan WHO mengungkapkan bahwa mereka kesulitan untuk mempertahankan dukungan bagi 19 pusat perawatan malnutrisi karena pasokan yang semakin menipis. Adapun stok yang tersedia saat ini hanya dapat merawat 500 anak.
2. Truk WHO tidak dapat masuk ke Gaza sejak Maret
Peeperkorn mengatakan bahwa belum ada truk WHO yang masuk ke Gaza sejak Israel melanjutkan serangan mematikan di wilayah tersebut pada 18 Maret 2025. Sebanyak 31 truk WHO saat ini masih berada di Al-Arish, Mesir, dan belum dapat masuk ke Gaza akibat blokade Israel.
Mengenai evakuasi medis keluar dari Gaza, ia mengatakan bahwa tindakan tersebut sangat terbatas dan penuh tantangan. Sejak Maret, hanya tiga evakuasi medis yang berhasil dilakukan, yang memungkinkan 123 pasien dan 187 pendamping dievakuasi untuk menerima perawatan di luar negeri.
Peeperkorn pun menyerukan kepada pihak-pihak terkait agar segera mengakhiri blokade bantuan, melindungi layanan kesehatan, membebaskan semua sandera, dan mencapai gencatan senjata yang mengarah pada perdamaian yang abadi.
3. Israel-AS persiapkan sistem penyaluran bantuan baru di Gaza
Pekan lalu, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Israel, Mike Huckabee, mengatakan bahwa sistem baru untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan di Gaza melalui perusahaan swasta sedang dipersiapkan.
Ia menjelaskan bahwa empat pusat distribusi akan didirikan di Gaza selatan untuk membagikan makanan dan bantuan lainnya kepada 1,2 juta orang, atau kurang dari 60 persen populasi Gaza, pada tahap awal.A Israel disebut hanya akan menyediakan keamanan, tanpa terlibat dalam distribusi bantuan.
Namun, lembaga-lembaga bantuan menolak rencana AS-Israel tersebut. Mereka menilai bahwa proposal itu dapat menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai senjata perang dan semakin memperburuk pengungsian di wilayah tersebut.
Rusia, China dan Inggris juga menolak sistem penyaluran bantuan yang baru, dan mendesak Israel untuk mencabut blokade yang telah berlangsung selama 2 bulan di Gaza.
"Dengan mendorong inisiatif ini, kepemimpinan Israel pada dasarnya meminta badan-badan PBB untuk terlibat dalam operasi militer Israel, sehingga membahayakan netralitas dan ketidakberpihakan kegiatan kemanusiaan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)," kata Vassily Nebenzia, Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB, dilansir dari Al Jazeera.