Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Alissa Wahid: Relasi Kuasa Digunakan dalam Konflik Agraria di Wadas

Warga beraktivitas di sekitar rumahnya di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)
Warga beraktivitas di sekitar rumahnya di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Jakarta, IDN Times - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, mengungkapkan hasil temuannya ketika ikut terlibat dalam proses advokasi konflik agraria di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah pada 12 Februari 2022. Salah satu temuannya yang menarik yakni ada penggunaan pola relasi kuasa oleh pemda kepada rakyat di Wadas, Jawa Tengah.

Alissa menegaskan posisi warga yang kontra terhadap penambangan batu kuwari andesit bukan karena tak sepakat dengan nominal ganti rugi yang ditawarkan. Mereka menolak tanahnya dijual ke pemerintah untuk dijadikan lahan penambangan. 

"Mereka menganggap aktivitas penambangan tersebut akan menghancurkan kehidupan dan lingkungan hidupnya. Selain itu ada risiko yang besar di mana mata pencahariannya sebagai petani akan terdampak langsung," ungkap Alissa ketika berbicara di program Ngobrol Seru dengan IDN Times yang tayang di YouTube IDN Times pada Selasa, 15 Februari 2022. 

Alissa mendengarkan respons yang menarik dari warga yang mendukung aktivitas penambangan. Sejumlah warga yang bersedia digusur, rupanya dipengaruhi paradigma bahwa tanah yang mereka huni selama ini milik negara. Sehingga, ketika negara sewaktu-waktu meminta, warga tak bisa menolak. 

"Jadi, relasi yang dibangun itu sejak awal adalah relasi kuasa, antara negara versus rakyat. Warga yang bersedia melepaskan tanahnya memang tidak diintimidasi, tapi dengan (dibangun) paradigma; kami kan rakyat kecil, sedangkan ini tanah negara dan kepentingan negara. Kalau pemerintah minta ya akan kami berikan. Alhamdulilah, kita dikasih uang," ujar Alissa menirukan pernyataan warga Wadas yang setuju lahannya dipakai untuk aktivitas penambangan. 

Bahkan, kata Alissa, ada satu perempuan yang menyebut bahwa selama ini mereka tinggal di atas tanah milik pemerintah. Perempuan tersebut menyebut menggunakan tanah itu tidak gratis. Sebab, setiap tahun mereka bayar pajak. 

"Jadi, yang dipahami oleh warga itu, bahwa tanah tersebut bukan punya mereka, melainkan milik negara," kata Alissa lagi. 

Pola pikir dan relasi yang dibangun secara timpang dalam proses musyawarah itu, ujarnya, yang sering merugikan rakyat kecil. Lalu, apakah sebaiknya proyek penambangan batu andesit di Desa Wadas dihentikan saja?

1. Warga dijanjikan akan diberikan pekerjaan di Bendungan Bener dan desa wisata

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid (Tangkapan layar YouTube IDN Times)
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Lebih lanjut, Alissa mengungkapkan warga yang setuju lahannya dibeli negara, ternyata juga diiming-imingi akan diberikan pekerjaan baru di Bendungan Bener. Menurut keterangan dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS), pembangunan bendungan itu akan memakan waktu dua hingga tiga tahun. 

Selain itu, pemda juga menyebut akan dibangun desa wisata di Wadas. Warga pun juga diiming-imingi bisa ikut dipekerjakan di sana. 

"Mereka sih bilang rumah tidak kena (dampak dari penambangan batu andesit), jarak dari lokasi penambangan ke rumah warga paling dekat 2 kilometer. Kalau nanti, alamnya berubah, airnya berkurang, kan kami bisa kerja di bendungan dan desa wisata yang akan dibangun di bekas area yang ditambang," tutur Alissa. 

Pola relasi kuasa lainnya tercermin ketika pemda justru melabeli warga yang kontra dengan penambangan batu andesit sebagai pembangkang dan korban telah diprovokasi pihak lain. 

Total lahan yang dibutuhkan untuk penambangan dan bendungan mencapai 145 hektare. Lalu, ditambah area 8,64 hektare untuk akses jalan menuju ke proyek pertambangan. Proses penambangan rencananya menggunakan metode blasting atau bahan peledak. 

Proyek Bendungan Bener masuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat. Bendungan ini menjadi salah satu ambisi proyek infrastruktur Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

Alissa menegaskan, warga tidak menolak pembangunan bendungan. Tetapi, mereka menolak penambangan batu andesit yang digunakan sebagai bahan untuk membangun bendungan tersebut.

2. Tatanan sosial di Desa Wadas terganggu sejak ada rencana proyek penambangan batu andesit

Area pembangunan Proyek Bendungan Bener di wilayah Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa, 8 Februari 2022. (Dok. Humas Polda Jawa Tengah)
Area pembangunan Proyek Bendungan Bener di wilayah Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa, 8 Februari 2022. (Dok. Humas Polda Jawa Tengah)

Di sisi lain, Alissa tak menampik terjadi perpecahan di kalangan warga Wadas. Sebab, ada sebagian warga yang setuju lahannya dijual untuk area penambangan penambangan dan menolak. 

"Ibu-ibu dan bapak-bapak yang pro terhadap proyek penambangan menyampaikan memang ada ketegangan (dengan warga yang kontra). Sekarang, jadi seperti ada jarak kalau membuat acara desa. Padahal, dulu mereka buat acaranya bersama," kata putri sulung dari Presiden Abdurrahman Wahid itu. 

Sebaliknya, kata Alissa, bila warga yang kontra terhadap proyek penambangan membuat acara, maka warga yang pro tidak diajak. Anak mereka juga saling meledek satu sama lain. 

"Tapi, saya tidak menemukan ada teror atau ancaman sih di antara warga yang berbeda sikap ini," ujarnya lagi. 

Justru, menurut warga, situasi yang paling berat ketika terjadi perpecahan di antara warga Wadas sendiri. 

3. Seharusnya bila warga menolak penambangan, pemerintah seharusnya tidak memaksa

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid (Tangkapan layar YouTube IDN Times)
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Alissa juga mengatakan keputusan apakah sebaiknya penambangan batu andesit dilanjutkan atau tidak, sepenuhnya harus muncul dari warga Wadas. Pemerintah pun seharusnya tidak berhak untuk memaksa agar warga setuju. Yang jadi pertanyaan, ketika lokasi pembangunan harus dilakukan di area tersebut, lalu pendekatan macam apa yang digunakan sehingga warga berubah pikiran. 

"Jangan, malah menggunakan pendekatan yang intrusif, represif dan jangan berasumsi bahwa rakyat kecil tidak ngerti apa-apa. Ini penghidupan mereka lho. Ini kan zaman media sosial, mereka tahu persis apa yang terjadi di wilayah lain yang terkena dampak pembangunan infrastruktur," kata Alissa. 

"Jadi, tidak bisa karena demi kepentingan bersama lalu warga diminta ikhlas (lahannya diambil negara)," tutur dia lagi. 

Alissa menegaskan, bagaimana nasib penambangan di Desa Wadas harus diputuskan bersama antara warga dan pemda. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Anata Siregar
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us