Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Buruknya Penegakan Hukum di 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi

Spanduk ucapan terima kasih Pak Jokowi bertebaran di Kota Solo. (IDN Times/Larasati Rey)
Intinya sih...
  • Kepemimpinan Jokowi dianggap berjasa namun catatan buruk terkait penegakan hukum
  • 203 kasus pidana dan 328 kasus serangan fisik dan digital terhadap masyarakat
  • Amnesty International mencatat 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua

Jakarta, IDN Times - Kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tinggal menghitung hari sebelum nantinya berakhir pada 20 Oktober 2024. Spanduk 'Terima Kasih Jokowi' pun menjamur di Jakarta.

Bagi pendukungnya, mungkin Jokowi dinilai telah berjasa selama 10 tahun menakhodai Indonesia.

Namun, selama itu pula terdapat catatan buruk terkait penegakan hukum di era Jokowi. Dalam beberapa kasus, penegakan hukum digunakan untuk membungkam suara masyarakat.

Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, terdapat 203 kasus pidana terhadap mereka yang mengkritik pejabat publik atau lembaga pemerintah melalui media sosial sepanjang aksi unjuk rasa dari Oktober 2014 hingga Maret 2019.

Di periode kedua, selama 2019 hingga 2022, Amnesty International Indonesia juga mencatat terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan atau digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Korban-korban ini mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran.

Beberapa undang-undang baru dan peraturan yang diimplementasikan semasa pemerintahan Jokowi juga telah mengancam hak-hak sipil dasar dan menjadi alat untuk membatasi kritik terhadap pemerintahan.

Aturan penodaan agama dalam pasal 156 dan 156 (a) KUHP dan pasal 28 (2) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan haknya dalam beragama dan berkeyakinan secara damai.

Selama 2019 hingga 2022, misalnya, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 332 orang korban yang dijerat dengan dugaan melanggar Pasal 27(1) dan (3) serta Pasal 28(2) UU ITE. Jumlah ini pun terus bertambah berdasarkan pantauan Amnesty International Indonesia hingga September 2023.

Berikut tujuh kasus yang menggambarkan buruknya penegakan hukum di era Jokowi.

1. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang

Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan saat berdemo di depan Kantor DPRD Kota Malang. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Tragedi kekerasan polisi yang berujung pada kematian banyak korban juga pernah terjadi dalam tragedi Kanjuruhan, Jawa Timur. Tragedi ini terjadi pada 1 Oktober 2022, yang menewaskan 135 orang saat pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya.

Polisi menggunakan gas air mata di dalam stadion yang menyebabkan tragedi tewasnya banyak orang berdesakan karena sesak nafas. Rantai komando kepolisian dalam tragedi ini menjadi sorotan.

Dua dari tiga anggota polisi yang menjadi terdakwa tragedi Kanjuruhan dinyatakan bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (16/03/2023) Sementara satu lagi divonis 1,5 tahun penjara.

Majelis hakim menyatakan eks-Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks-Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, tidak terbukti melakukan pidana karena kealpaan seperti diatur oleh pasal 359, pasal 360 ayat 1, dan pasal 360 ayat 2 KUHP.

Dalam pertimbangannya Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya mengatakan tembakan gas air mata yang ditembakkan para personel Samapta Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan.

Setelahnya, asap tersebut mengarah ke pinggir lapangan. Namun sebelum sampai ke tribun, asap itu tertiup angin menuju atas.

2. Warga Desa Wadas vs TNI-Polri

Wadas Melawan (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Konflik antara aparat gabungan TNI dan Polri dengan warga di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo terjadi pada Selasa, 8 Februari 2022. Kericuhan ini bermula akibat rencana pembangunan Bendungan Bener yang merupakan salah satu proyek strategus nasional.

Bendungan Bener dibangun dengan tujuan memasok sebagian besar kebutuhan air ke Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Pembangunan ini memerlukan bantuan andesit dan diambil dari Desa Wadas.

Luas lahan yang akan dikeruk untuk penambangan andesit mencapai 145 hektare. Peristiwa kericuhan ini menyebabkan puluha warga desa ditangkap. Terhitung 67 warga desa ditangkap secara paksa dan dibawa ke Polres Purworejo.

3. Protes warga Nagari Air Bangis berujung penangkapan 18 warga

Ilustrasi tersangka (IDN Times/Mardya Shakti)

Pada 31 Juli hingga 5 Agustus 2023, sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis dan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumatra Barat. Mereka menolak rencana PSN kilang minyak dan petrokimia dengan luas konsesi 30.000 hektar karena menyerobot lahan yang dikelola warga.

Namun aksi protes itu ditanggapi secara represif dengan pengerahan kekuatan oleh aparat keamanan yang memulangkan secara paksa para pemrotes, disertai penangkapan atas 18 orang warga, mahasiswa, dan aktivis serta intimidasi dan kekerasan atas sedikitnya empat jurnalis peliput aksi.

4. Intimidasi terhadap massa aksi Rempang

Ilustrasi penolakan masyarakat atas hadirnya PSN Rempang Eco-City (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Pada 7 September 2023, aparat Polda Kepulauan Riau telah melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat Pulau Rempang-Galang, Batam, hanya karena mereka menolak proyek strategis nasional Rempang Eco City yang berdampak pada pengusiran permukiman mereka.

Kekerasan aparat itu mengakibatkan pada tertangkapnya enam orang warga dan puluhan warga lainnya luka-luka. Bahkan, ratusan murid sekolah harus menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata aparat di sekolah.

5. Penangkapan Pemimpin Redaksi Floresa

Infografis 10 Tahun Jokowi dan Kontroversi Produk Hukumnya. (IDN Times/Aditya Pratama)

Polres Manggarai menangkap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, saat meliput aksi protes warga Poco Leok atas pematokan lahan proyek geotermal di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu, 2 Oktober 2024.

Berdaraskan keterangan tertulis Amnesty International Indonesia, Herry Kabut diangkut ke mobil aparat kepolisian bersama beberapa warga Poco Leok yang juga ditangkap. Menurut keterangan warga, Herry ditarik dan diangkut paksa ke dalam mobil aparat sambil dianiaya.

Kericuhan antara warga Poco Leok dan aparat keamanan didokumentasi oleh warga setempat. 

Proyek geotermal tersebut digarap Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai dan merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), yang masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai memaksa masuk ke wilayah Poco Leok untuk membuka akses jalan proyek geotermal pada Rabu kemarin. Masuknya tim PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai ini diiringi dengan pengamanan aparat kepolisian, TNI Angkatan Darat, dan Polisi Pamong Praja.

Upaya tersebut dihadang oleh warga dan direspons oleh aparat dengan pemukulan dan penangkapan empat orang dari masa aksi termasuk Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.

6. Pembubaran paksa diskusi di Kemang

Sembilan tersangka kasus pembubaran diskusi di Kemang. (dok. IDN Times/Istimewa)

Aksi represif serupa kembali terjadi pada acara diskusi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu 28 September 2024.

Diskusi tersebut merupakan wadah dialog antara diaspora Indonesia dan tokoh-tokoh nasional terkait isu-isu kebangsaan. Beberapa tokoh yang hadir di antaranya Refly Harun, Abraham Samad, Said Didu, M. Din Syamsuddin, Rizal Fadhilah, dan Sunarko.

Namun acara tersebut disabotase oleh serangan sekelompok orang tak dikenal, yang sebagian besar memakai masker.

Sekelompok orang merangsek ke ruang pertemuan sambil merusak panggung, menyobek backdrop, dan mematahkan tiang mikrofon. Mereka juga melakukan serangan verbal kepada para peserta dan penyelenggara diskusi dengan meneriakkan kata “bubar!” Tak lama kemudian mereka serempak keluar dari lokasi sambil ditemani sejumlah polisi.

Mirisnya, pihak kepolisian yang berada di dekat lokasi kejadian justru membiarkan insiden ini terjadi. Tidak ada pencegahan dan penangkapan di tempat oleh polisi atas kelompok penyabotase itu. Bahkan ada beberapa polisi berseragam yang terlihat bersalaman dan merangkul perwakilan kelompok tersebut di gerbang hotel setelah kejadian.

Setelah itu, Polda Metro Jaya menangkap sembilan orang diduga merupakan pelaku. Mereka sudah dinyatakan jadi tersangka peristiwa sabotase atas diskusi tersebut.

Dari peristiwa itu, Amnesty International Indonesia mencatat bahwa sejak Januari 2019 hingga September 2024 terdapat sedikitnya 255 kasus intimidasi dan serangan fisik atas setidaknya 482 pembela HAM. Mereka terdiri dari aktivis, masyarakat adat, petani, akademisi, dan jurnalis.

7. Masalah di Papua tak pernah selesai

Kantor redaksi media Jubi di Jayapura, Papua, dilempari molotov, Rabu dini hari (16/10/2024). Dua mobil operasional kantor terbakar. (Dok. IDN Times/Istimewa)

Dari 2018 hingga 2022, Amnesty International Indonesia juga mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.

Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.

Kekerasan berdarah di Tanah Papua masih terus berlangsung hingga kini. Salah satu l kekerasan terjadi terhadap para penambang di Distrik Seradala, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan pada 16 Oktober 2023, menyebabkan tujuh korban tewas dan tujuh lainnya terluka.

Sebelumnya, pada 17 September 2023 terjadi penyergapan dengan kekerasan di kantor Klasis Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Keneyam, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Ketua klasis dianiaya dan tiga orang ditangkap karena diduga pendukung kelompok pro-kemerdekaan.

Dua hari sebelumnya, pada tanggal 15 September 2023, lima warga sipil ditemukan tewas di muara Sungai Brasa, Dekai, Kabupaten Yahukimo. Polisi menemukan jenazah mereka setelah kontak senjata dengan kelompok pro-kemerdekaan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irfan Fathurohman
EditorIrfan Fathurohman
Follow Us