Dilema Penerapan Ganjil-Genap Sepeda Motor di PSBB Transisi DKI

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan penerapan aturan ganjil-genap untuk kendaraan pribadi termasuk sepeda motor. Rencana kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Jakarta Nomor 51 Tahun 2020, tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Produktif, khususnya mengenai Pengendalian Moda Transportasi.
Lantas, apakah wacana kebijakan tersebut tepat?
1. Kapasitas penumpang transportasi umum yang dibatasi dikhawatirkan tidak bisa menampung semua warga

Analis kebijakan transportasi, Azas Tigor Nainggolan mengatakan, kebijakan ganjil-genap adalah upaya untuk mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi. Hal ini agar guna mengurangi kemacetan dan masyarakat berpindah menggunakan transportasi umum.
Sementara, kebijakan PSBB masa transisi adalah upaya mengendalikan penyebaran COVID-19 agar masyarakat hidup sehat dan produktif. Selama masa PSBB transisi, juga diatur bahwa kapasitas layanan transportasi umum dikurangi hingga 50 persen.
"Apakah ini akan aman dan dapat menampung masyarakat dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal di Jakarta?," kata Tigor saat dihubungi IDN Times, Rabu (10/6).
2. Ganjil-genap sebaiknya tidak diterapkan saat masa PSBB transisi

Tigor menjelaskan, perhitungan antara perpindahan jumlah masyarakat ke layanan transportasi umum harus benar-benar diantisipasi. Menurutnya, ada ketidaksesuaian antara kebijakan ganjil-genap dalam kebijakan PSBB transisi di Jakarta.
Kebijakan pertama, yaitu menekan dan mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dengan cara mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum. Kebijakan kedua, ada aturan mengurangi kapasitas penumpang transportasi umum menjadi 50 persen.
"Bukankah akan terjadi lonjakan atau peningkatan pengguna layanan angkutan umum massal? Perhitungan atau antisipasinya adalah setidaknya agar tidak terjadi penumpukan masyarakat pada saat mengakses layanan angkutan umum," jelas Tigor.
Tigor melanjutkan, jika terjadi penumpukan di terminal atau stasiun angkutan umum massal, maka akan terjadi penyebaran virus corona.
"Untuk itu, sebaiknya selama penerapan kebijakan PSBB transisi di Jakarta, seharusnya tidak disertai kebijakan pengendalian ganjil-genap penggunaan kendaraan bermotor pribadi," katanya.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) ini menilai, ditiadakannya ganjil-genap juga guna mencegah terjadinya lonjakan dan kerumunan penumpang di layanan transportasi umum.
"Toh, selama masa PSBB transisi ini kapasitas penumpang mobil pribadi sudah dibatasi hanya 50 persen dari kapasitasnya. Kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dapat diterapkan kemudian, setelah kita melihat perkembangan yang terjadi pada penerapan PSBB transisi," ucapnya.
3. Kebijakan pelarangan untuk sepeda motor pernah diterapkan di Jakarta

Dikonfirmasi terpisah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menjelaskan, penerapan kebijakan ganjil-genap dengan pengecualian ojek daring, tidak akan bermakna lagi sebagai program pembatasan mobilitas kendaraan pribadi di jalan raya.
"Pasalnya, populasi sepeda motor sekitar 75 persen dari kendaraan bermotor yang ada. Ojek daring tidak termasuk dalam pola transportasi makro (PTM) Kota Jakarta," jelasnya.
Di Jakarta, kata Djoko, pernah diterapkan kebijakan pelarangan sepeda motor di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin. Sejak Anies Baswedan terpilih menjadi Gubernur DKI, kebijakan tersebut dihilangkan. Namun, kini sepeda motor juga akan dikenakan kebijakan ganjil-genap.
"Bisa jadi pertimbangannya, karena populasi sepeda motor mendominasi lalu lintas di jalan raya. Sehingga, perlu dibatasi," ucapnya.
Djoko menilai, kebijakan ganjil-genap juga tidak bisa dipertahankan begitu lama. Hal ini karena, masyarakat cenderung menambah kendaraan pribadi dan memiliki plat kendaraan ganda (nomor ganjil dan genap).
"Segeralah beralih dengan program jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP)," kata Djoko.
4. Membolehkan ojek daring kembali membawa penumpang dinilai tidak tepat

Di lain hal, ada Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Nomor 105 Tahun 2020 tentang Pengendalian Sektor Transportasi untuk Pencegahan COVID-19 di Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Surat Keputusan tertanggal 5 Juni 2020 itu, membolehkan ojek daring membawa penumpang asal mengikuti protokol kesehatan.
"Membolehkan ojek daring membawa penumpang, menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap kesehatan bagi pengemudi dan penumpang. Namun, sangat menguntungkan aplikator," kata Djoko.
Menurut Djoko, dibolehkannya ojek daring membawa penumpang juga tidak memenuhi kriteria jaga jarak fisik. Walaupun diberikan penyekat, penyekat itu dinilai belum mendapatkan sertifikat SNI.
Djoko mengatakan, hingga saat ini belum dilakukan uji coba oleh instansi yang berwenang. Keselamatan dan keamanan pengemudi serta penumpang pun dipertaruhkan.
"Sangat berisiko tertular virus antara pengemudi dan penumpang. Protokol kesehatan ojek daring siapa yang membuat? Apakah sudah dapat rekomendasi dari ahli kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19? Siapa yang mengawasi penerapan protokol kesehatan di lapangan?," ungkap Djoko.
Djoko menuturkan, kebijakan membolehkan ojek daring lebih menguat karena kepentingan politis dan bisnis. Pengemudi ojek daring dijadikan dalih pendapatan minim, untuk membantu kesejahteraannya.
"Jika suatu saat ada yang tertular melalui aktivitas ojek daring, bisa jadi masyarakat sipil akan menuntut instansi yang membolehkan dan yang mengusulkan," tuturnya.
"Pengemudi itu memang tidak takut mati (pengakuan pengemudi ojek daring). Namun, mereka takut akan penularan virus corona dari penumpang yang tidak taat aturan protokol kesehatan. Sakitnya itu yang ditakuti sebagian pengemudi ojek daring," sambung Djoko.
5. Mengatur kegiatan manusia dengan cara WFH dan WFO

Djoko mengatakan, sumber permasalahan saat ini bukan hanya di sektor transportasi. Melainkan, bagaimana pengaturan kegiatan manusianya. Cara yang bisa dilakukan dengan memadukan pola kerja work from home (WFH) dan work from office.
"Penjadwalan jam kerja, atau menambah kapasitas bus antar-jemput di kementerian, lembaga pemerintah, dan BUMN dapat dilakukan," katanya.
"Jadi, seharusnya masa new normal tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemik. Yang masih bisa WFH ya semestinya tetap WFH atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor," ujarnya menambahkan.
Sektor yang menuntut pekerja harus datang ke tempat kerja, lanjut Djoko, perlu diatur jadwal kerjanya. Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan pula, pihak perusahaan dapat menyediakan angkutan untuk para karyawannya.
"Agar pada saat penerapan new normal khususnya di Jabodetabek, tidak timbul kekacauan di sektor transportasi. Sebab, sumber permasalahan bukan di sektor transportasinya. Namun, pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya," tutup Djoko.
6. Sejumlah masyarakat tak setuju akan rencana kebijakan ganjil-genap sepeda motor

James, salah satu warga Jakarta Selatan, tidak setuju jika seandainya kebijakan ganjil-genap diterapkan untuk sepeda motor. Menurutnya, dalam situasi pandemik COVID-19 saat ini, kendaraan bermotor pribadi baik roda empat mau pun roda dua merupakan sarana transportasi yang aman bagi masyarakat.
Menurutnya, meski kapasitas penumpang dibatasi 50 persen, jumlah penumpang di transportasi umum masih terbilang banyak.
"Jumlahnya tetap saja ramai. Bahkan, ada sesekali masih nampak orang yang berdiri di dalam bus Transjakarta. Hingga saat ini, sarana transportasi umum minim pengawasan. Makanya, transportasi umum menjadi salah satu tempat yang rentan untuk penyebaran COVID-19," jelasnya.
Senada, Rizky, seorang pengguna motor lainnya, tak setuju akan kebijakan tersebut. Walau pun Rizky warga Tangerang, setiap harinya dia harus ke lokasi kerjanya yang berada di wilayah Jakarta.
"Saya sebagai pengendara motor, jelas keberatan. Karena, ketika harus beralih ke transportasi umum, fasilitas itu pun tidak mendukung pekerjaan saya. Kedua, mungkin penyebaran virus di masa pandemik ini jauh lebih besar potensinya di transportasi umum," ungkap Rizky.
7. Anies berlakukan ganjil-genap jika Jakarta dalam keadaan darurat

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan buka suara terkait rencana pemberlakuan kembali aturan ganjil-genap bagi kendaraan bermotor di Ibu Kota. Menurut Anies, pemberlakuan ganjil-genap merupakan kebijakan darurat yang akan dilaksanakan jika terjadi lonjakan kasus COVID-19 di DKI Jakarta.
Hal ini akan berkaitan dengan mobilitas masyarakat di fase new normal atau normal baru, di mana jika pergerakan masyarakat tinggi dan menimbulkan banyak kasus, maka ganjil genap akan diterapkan.
"Bila tidak diperlukan ya tidak digunakan. Sama seperti PSBB. Bila wabahnya ternyata meningkat jumlah kasus bertambah, maka diterapkan PSBB," kata Anies kepada awak media, Senin (8/6).
Menurut Anies, aturan ganjil-genap akan muncul beriringan dengan adanya surat keputusan gubernur.
"Jadi data lengkap bahwa bila ganjil-genap dilakukan, maka akan ada surat Keputusan Gubernur, selama belum ada surat Keputusan Gubernur maka tidak ada ganjil-genap," kata dia.
Anies menegaskan, sejak 15 Maret Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meniadakan ganjil-genap, dan hal itu belum berubah sampai saat ini. Anies mengatakan, telah menyiapkan dua kebijakan jika ada lonjakan kasus virus corona yang mengharuskan pihaknya mengambil langkah darurat.
Pertama, adalah Emergency Brake Policy atau menghentikan masa transisi. Sedangkan yang kedua baru memberlakukan sistem ganjil-genap.
"Dua-duanya untuk pengendalian. Tapi kita akan lihat jumlah kasus, jumlah orang bepergian, dari situ nanti bila diperlukan baru digunakan," ujar mantan Menteri Pendidikan dan kebudayaan tersebut.