Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Direktur WALHI Sumut Sentil Gubernur Bobby soal Banjir

Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)
Intinya sih...
  • Perubahan status kawasan hutan jadi APL dinilai jadi pemicu
  • Masyarakat lokal justru menjaga hutan, bukan merusaknya
  • WALHI minta pemerintah belajar dari praktik pengelolaan adat
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara, Rianda Purba, menanggapi pernyataan Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, yang menyebut banjir bandang di wilayah Sumatra terjadi akibat hidrometeorologi atau bencana yang diakibatkan alam. Menurut Rianda, faktor utama pemicu bencana tersebut justru kerusakan ekologis yang sudah berlangsung lama. 

“Di situ orangutan Tapanuli yang statusnya in danger, kemudian harimau Sumatra, dan koeksistensi antara manusia dan alam itu sudah berlangsung selama ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya. Nah, ekosistem tersebut yang menjadi penopang siklus hidrologis di wilayah-wilayah untuk menopang kehidupan keluarga di area-area sekitarnya, itu telah rusak. Kita catat dalam 10 tahun terakhir saja 10 ribu hektare lebih itu sudah rusak hutan di sana,” kata Rianda melalui Zoom dalam konferensi pers yang bertajuk “Siklon Senyar, Bencana Ekologis, dan Masa Depan Kita: Apa Makna Hasil COP 30 bagi Indonesia?” Senin (1/12/2025).

“Nah, perusakan hutan di sana itu disebabkan oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal ya pernyataan dari Gubernur Sumatra Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem. Tapi pemicu utamanya bukan cuaca ekstrem ini,” tegasnya.

1. Perubahan status kawasan hutan jadi APL dinilai jadi pemicu

Pemandangan bekas lokasi tambang di Bangka dari pesawat udara
Pemandangan bekas lokasi tambang di Bangka dari pesawat udara (IDN Times/Doni Hermawan)

Menurut Rianda, kerusakan ini berawal dari perubahan peruntukan kawasan hutan pada 2014, termasuk di ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli. Melalui SK 579, kawasan hutan berubah menjadi Area Penggunaan Lain (APL), sehingga membuka pintu bagi berbagai investasi dan eksploitasi di wilayah itu.

“Nah, itu salah satunya adalah SK Nomor 579. Nah, dari situ kemudian banyak investasi masuk di wilayah ekosistem tersebut. Misalnya, satu adalah PLTA NSHE Batang Toru. Nah, PLTA ini juga salah satu yang berkontribusi. Kemudian, perluasan tambang agentur atau Tambang Emas Martabe yang juga sejak 2020 mereka mengumumkan bahwa akan memperluas areal eksploitasinya," kata dia.

"Kemudian juga investasi lainnya seperti misalnya perkebunan kayu rakyat PTTPL. Kemudian juga aktivitas pembukaan lahan sawit yang alih fungsi dari hutan ke lahan hutan yaitu perkebunan sawit,” sambung dia.

Perubahan status lahan membuat perusahaan dan oknum bisa membeli serta membuka hutan secara legal maupun ilegal.

“Sehingga orang seenaknya saja oknum baik secara legal maupun ilegal itu melakukan penebangan hutan dan alih fungsi lahan. Nah, ini yang terjadi dan sangat kita sayangkan pemerintah seenaknya saja ya, mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan,” ujarnya.

2. Masyarakat lokal justru menjaga hutan, bukan merusaknya

Banjir bandang Sumatra
Ilustrasi masyarakat adat (pexels.com/natasha lois)

Rianda menegaskan masyarakat tidak berkontribusi pada perusakan hutan. Warga telah lama memahami fungsi ekologis hutan sebagai sumber air dan perlindungan dari banjir. Mereka punya kearifan lokal seperti larangan dan mekanisme adat yang mengatur perlindungan ekosistem dan air.

“Nah, kalau kita lihat apakah apa ya kontribusi masyarakat untuk perusakan ada? Tidak ada. Karena kita lihat langsung masyarakat justru sampai saat ini mereka sadar bahwa hutan tersebut punya fungsinya untuk menopang kehidupan. Pertama adalah sumber air mereka dan kemudian menghindari kalau urusannya hutan itu jadi banjir,” ucapnya.

3. WALHI minta pemerintah belajar dari praktik pengelolaan adat

Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

WALHI menilai pemerintah perlu mengambil pelajaran dari praktik masyarakat yang menjaga ruang hidup secara partisipatif selama ratusan tahun. Rianda menekankan peraturan tata ruang dan pengelolaan hutan semestinya mengedepankan partisipasi masyarakat lokal, bukan hanya kepentingan investasi.

“Nah, ini sebenarnya yang harus dijadikan pembelajaran bagi pemerintah bahwa dalam pengaturan ruang hidup, khususnya hutan ekosistem, itu harus memang mengedepankan partisipasi aktif dari masyarakat lokal,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

Direktur WALHI Sumut Sentil Gubernur Bobby soal Banjir

01 Des 2025, 17:19 WIBNews