Draf Buku Sejarah yang Ditulis Ulang Fadli Zon: Tidak Ada Tragedi Mei 1998

- Proyek penyusunan ulang sejarah Fadli Zon hanya sebut 2 dari 12 pelanggaran HAM berat
- Pemerintahan Jokowi akui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk tragedi Mei 1998
Jakarta, IDN Times - Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 dikecam oleh banyak pihak, termasuk keluarga korban. Namun, belakangan diketahui bahwa ragam peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 1998 tidak masuk ke dalam 'Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia' yang dirumuskan oleh tiga pihak dan akan dibuat oleh Kementerian Kebudayaan.
IDN Times ikut membaca dokumen setebal 30 halaman itu. Di dalam jilid 10 di halaman 28, penulisan era reformasi justru dimulai pada 1999 hingga 2024.
"Mungkin mirip seperti munculnya harapan rakyat yang begitu tinggi pascaperang kemerdekaan, datangnya era reformasi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Terutama pada masa awal, kesulitan hidup dirasakan masyarakat secara meluas," demikian dua paragraf awal di jilid itu, dikutip Senin (16/6/2025).
Di bagian bab I dari jilid 10 itu, tertulis 'masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi'. Pada poin 1.1 menggambarkan mengenai kepemimpinan Presiden ke-3, B.J Habibie, termasuk menyinggung demokratisasi. Tetapi, di bagian itu tidak disinggung sama sekali soal tragedi Mei 1998, termasuk kekerasan seksual yang banyak dialami oleh perempuan keturunan etnis Tionghoa.
Apa kata Fadli Zon soal banyak peristiwa pelanggaran berat HAM yang justru tidak disinggung di dalam penyusunan ulang sejarah tersebut?
1. Proyek penyusunan ulang sejarah Fadli Zon hanya sebut 2 dari 12 pelanggaran HAM berat

Lebih lanjut, di dalam dokumen 'Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia' hanya dimasukan dua peristiwa pelanggaran HAM berat yaitu peristiwa Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Talangsari Lampung 1989. Hal itu tertuang di dalam jilid 9 yang membahas Orde Baru.
Padahal, pemerintahan Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat. Hal itu tertuang di dalam Keppres Nomor 17 Tahun 2022 yang juga meminta pemerintahannya untuk memberi rehabilitasi dan bantuan sosial kepada para penyintas HAM.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon pun pernah mengatakan, bahwa sejarah yang ditulis ulang bukan sejarah HAM. "Ini bukan menulis tentang sejarah HAM. Ini sejarah nasional Indonesia yang aspeknya begitu banyak, mulai dari prasejarah atau sejarah awal hingga sejarah secara keseluruhan," kata Fadli di Taman Sriwedari Cibubur, Depok pada 1 Juni 2025 lalu.
Dia menekankan, publik tak perlu khawatir proyek penulisan ulang sejarah akan meninggalkan sejarah yang sudah ada.
"Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan mudah, pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa," imbuhnya.
2. Pemerintahan Jokowi akui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk tragedi Mei 1998

Sementara, sikap berbeda diambil oleh Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo. Ia memilih untuk fokus kepada korban pelanggaran HAM berat dan memberikan bantuan rehabilitasi. Cara ini tidak dilakukan lewat jalur hukum atau proses yudisial.
Salah satu cara yang ditempuh oleh Jokowi yakni pemerintah memberikan pengakuan telah terjadi 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998. Ini berarti pemerintahan Jokowi pun mengakui telah terjadi peristiwa perkosaan massal selama Mei 1998.
Berikut 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui oleh pemerintahan Jokowi:
Peristiwa 1965-1966
Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985
Talangsari, Lampung (1989)
Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1998–1999)
Penghilangan Paksa Aktivis (1997–1998)
Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II (1998–1999)
Kerusuhan Mei 1998
Simpang KKA, Aceh (1999)
Wasior, Papua (2001)
Wamena, Papua (2003)
Jambo Keupok, Aceh (2003)
Peristiwa Timor Timur pasca-referendum (1999), telah diadili di Pengadilan HAM ad hoc namun hasilnya masih kontroversial
Pengakuan yang diberikan oleh pemerintahan Jokowi ini merupakan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat di masa lalu. Tim itu dibentuk dengan dasar Keppres Nomor 17 Tahun 2022 dan dipimpin oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
3. Amnesty duga Fadli Zon sengaja sangkal perkosaan massal 1998 demi bela Prabowo

Sementara, Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, mengatakan sikap Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal pemerkosaan massal pada Mei 1998 betul terjadi, karena diduga ikut merasa malu peristiwa itu pernah ada. Selain itu, pemerintahan Prabowo Subianto diduga tidak merasa nyaman karena rekam jejak masa lalu.
Lagipula, peristiwa kerusuhan pada Mei 1998 sudah tak bisa lagi dibantah lantaran bukti dokumentasi menumpuk. Usman pun menduga Fadli sengaja menyangkal peristiwa pemerkosaan massal agar nama sejumlah individu yang tertulis di laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak diproses hukum.
"Pernyataan Menteri tersebut juga bisa dihubungkan dengan rekomendasi TGPF, tepatnya rekomendasi nomor 2. Isinya pemerintah perlu sesegera mungkin menindak lanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindak kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis," ujar Usman seperti dikutip dari YouTube Koalisi Perempuan Indonesia pada Sabtu (14/6/2025).
Tindak lanjut itu, kata Usman, berupa proses hukum terhadap warga sipil maupun militer. Selain itu, TGPF meminta pemerintah untuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan.
"Dalam rangkaian ini, Pangkoops Jaya, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam kasus penculikan yang terjadi pada Mei, Letjen Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer. Demikian juga dalam kasus (penembakan) Trisakti perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkap penembakan mahasiswa," tutur dia.
Usman pun menyadari dua nama yang disebut di dalam laporan TGPF kini sudah menjadi pejabat yang lebih tinggi. Sjafrie kini menduduki posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Prabowo adalah Presiden ke-8.
"Padahal, mereka seharusnya dimintai pertanggungjawaban berdasarkan rekomendasi TGPF," imbuhnya.