LBH Jakarta Pertimbangkan 2 Langkah Hukum di Kasus Pertamax Oplosan

- Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan sedang mempertimbangkan dua upaya hukum melawan PT Pertamina terkait praktik pengoplosan BBM jenis Pertamax RON 92 dengan Pertalite jenis RON 90.
- Upaya hukum pertama adalah gugatan warga negara atau citizen lawsuit bila hasil analisa menunjukkan masalah di tata kelola atau kebijakan. Upaya kedua adalah gugatan perwakilan kelompok atau class action jika ditemukan celah implementasi kebijakan yang berdampak massif kepada masyarakat.
Jakarta, IDN Times - Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan mengatakan, ada dua upaya hukum yang sedang dipertimbangkan untuk diajukan ke pengadilan melawan PT Pertamina. Gugatan itu merupakan buntut dari dugaan praktik pengoplosan BBM jenis Pertamax RON 92 dengan Pertalite jenis RON 90. Praktik tersebut disebut oleh Kejaksaan Agung diduga terjadi pada rentang 2018 hingga 2023 lalu.
Fadhil mengatakan, upaya hukum ke pengadilan didasarkan pada aduan yang masuk ke LBH Jakarta baik secara daring atau luring. Sedangkan sejak pekan lalu, total sudah ada 426 laporan yang diterima oleh LBH Jakarta.
"Pertama, bila hasil analisa kami menunjukkan problem-nya ada di tata kelola atau kebijakan, kami bisa mengajukan gugatan warga negara atau citizen lawsuit," ujar Fadhil ketika memberikan keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Jumat (28/2/2025).
Ia mengatakan, LBH Jakarta sudah berpengalaman mengajukan gugatan warga negara. Terbaru, mereka pernah mengajukan gugatan warga negara terkait kondisi polusi udara di Jakarta.
Tidak tanggung-tanggung, ketika itu LBH Jakarta menggugat hingga ke level Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 2021 lalu. Hasilnya, Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan LBH Jakarta. Ada pula gugatan warga negara terkait praktik eskploitatif pinjaman online pada 2024 lalu yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA).
1. LBH Jakarta bisa ajukan gugatan class action terhadap Pertamina

Lebih lanjut, upaya hukum lainnya yang dipertimbangkan untuk ditempuh adalah gugatan perwakilan kelompok atau class action. Gugatan tersebut dapat diajukan bila ditemukan celah di implementasi kebijakan yang berdampak massif kepada masyarakat.
Fadhil juga menyebut gugatan perwakilan kelompok tidak harus diajukan oleh LBH Jakarta yang menggandeng CELIOS (Centre of Economic and Law Studies). Sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pemerintah juga bisa mengajukan class action terhadap PT Pertamina. Namun, Fadhil pesimistis gugatan itu akan diajukan oleh pemerintah.
Meski begitu, baik LBH Jakarta dan CELIOS belum memutuskan dari dua upaya hukum itu mana yang akan ditempuh. Fadhil mengatakan, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut, salah satunya dari pengaduan warga yang dialamatkan ke LBH Jakarta.
2. Upaya penegakan hukum Kejaksaan Agung hanya fokus ke kerugian keuangan negara

Sementara, dalam pandangan peneliti CELIOS di bidang hukum, Muhammad Saleh, regulasi hukum dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah masih fokus kepada kerugian keuangan negara. Kejaksaan Agung dinilai luput memperhatikan masyarakat yang terdampak paling parah dari dugaan mega korupsi ini.
"Sampai hari ini, proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan masih fokus pada dugaan kerugian keuangan negara. Mereka juga fokus pada tindak pidana korupsi, tapi luput pada korban atau masyarakat umum yang terdampak langsung," ujar Saleh di kantor LBH Jakarta.
Bahkan, Saleh menyebut, LBH Jakarta dan CELIOS bisa mengusulkan agar ada kompensasi yang diterima oleh masyarakat sebagai pihak yang paling dirugikan karena dugaan praktik pengoplosan Pertamax tersebut.
"Jadi, kompensasi ini tidak fair kalau hanya dikembalikan kepada negara. Karena masyarakat umum lah yang menjadi korban langsung dari praktik pengoplosan minyak BBM Pertamax," katanya.
3. CELIOS usulkan agar subsidi BBM dikembalikan ke masyarakat

Lebih lanjut, Saleh juga mengusulkan agar pemerintah mengembalikan subsidi BBM ke rakyat. Dengan begitu, Kejaksaan Agung tidak hanya fokus untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang disebabkan dari mega rasuah tata kelola minyak mentah. Apalagi nilai kerugian keuangan negara per tahunnya diperkirakan mencapai Rp193 triliun.
"Jadi, kami tidak ingin proses penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan itu hanya berupaya melakukan pengembalian kerugian keuangan negara tanpa ada imbal-balik yang diterima oleh warga dalam bentuk pengembalian subsidi. Maka, perlu ada skema-skema subsidi alternatif lainnya yang didorong oleh pemerintah," kata Saleh.
Ia memberikan contoh pemerintah bisa memperluas skema subsidi Pertalite dan Pertamax bagi masyarakat selama beberapa hari atau beberapa bulan ke depan. Sebab, seharusnya masyarakat bisa menerima manfaat jauh lebih tinggi dengan membeli BBM Pertamax. Tetapi, karena ada kasus mega korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, hak-hak masyarakat menjadi hilang.