Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Eks TGPF: Investigasi Ulang Korban Kasus 1998 Tak Memungkinkan

Puluhan bangkai mobil milik salah satu show room mobil di Jalan Ciledug Raya, Tangerang, Jawa Barat, Jumat (15/5/1998) setelah dibakar massa Kamis (14/5) malam. (ANTARA FOTO/Hadiyanto)
Puluhan bangkai mobil milik salah satu show room mobil di Jalan Ciledug Raya, Tangerang, Jawa Barat, Jumat (15/5/1998) setelah dibakar massa Kamis (14/5) malam. (ANTARA FOTO/Hadiyanto)
Intinya sih...
  • Para korban kasus 1998 masih mengalami trauma mendalam hingga saat ini.
  • Ada banyak teror terutama bagi mereka yang memperjuangkan HAM.

Jakarta, IDN Times - Mantan Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana menilai, saat ini tidak memungkinkan untuk kembali melakukan investigasi dan memanggil kembali korban kerusuhan Mei 1998.

"Mengenai kemungkinan untuk melakukan investigasi lagi ya atau bahkan menampilkan korban kayaknya nggak mungkin," kata dia dalam jumpa pers yang digelar Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia secara daring, Selasa (17/6/2025).

1. Korban alami trauma mendalam

Sejumlah petugas mengangkut mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jakarta Timur yang berunjuk rasa ke gedung MPR RI, Jumat (8/5/1998). (ANTARA FOTO/Yunirsyah Sirin)
Sejumlah petugas mengangkut mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jakarta Timur yang berunjuk rasa ke gedung MPR RI, Jumat (8/5/1998). (ANTARA FOTO/Yunirsyah Sirin)

Menurutnya, investigasi itu tidak mungkin dilakukan karena para korban masih mengalami trauma mendalam hingga saat ini. Terlebih, pemerintah belum berhasil mengusut tuntas kasus kerusuhan Mei 1998 dan justru Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon melakukan penyangkalan dengan menyebut tidak ada pemerkosaan massal.

"Penyangkalan itu sendiri sebetulnya sudah merupakan reviktimisasi dan kita enggak akan melakukan reviktimisasi lagi dan atau membuat trauma mereka muncul lagi," tegas Nursyahbani.

2. Soroti soal teror

Kendaraan lapis baja berpatroli di sekitar Jalan Sabang, Jakarta, Kamis (14/5/1998). (ANTARA FOTO/Saptono)
Kendaraan lapis baja berpatroli di sekitar Jalan Sabang, Jakarta, Kamis (14/5/1998). (ANTARA FOTO/Saptono)

Nursyahbani secara khusus menyoroti ketakutan mengenai berbagai bentuk teror. Terutama bagi pihak yang memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia sendiri pernah mendapatkan teror saat berupa memperjuangkan HAM.

"Itu nyata kok bukan hal yang dibuat-buat. Saya sendiri mengalaminya ya waktu pulang dari International People's Tribunal itu dihadang oleh sekelompok orang dengan membawa celurit dan senjata tajam yang lain gitu. Belum lagi yang bentuknya nonfisik ya seperti teror lewat telepon ataupun surat dan lain-lain. Kita tidak ingin lagi menempatkan para korban dalam situasi yang apa menakutkan seperti itu," imbuh dia.

3. Sentil pernyataan Fadli Zon

Fadli Zon
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (Youtube IDN Times)

Lebih lanjut, Nursyahbani mengkritisi pernyataan Menbud, Fadli Zon yang tidak percaya dengan laporan adanya pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998. Menurut Nursyahbani, seharusnya Fadli Zon sebagai pihak pemerintah yang punya otoritas menindaklanjuti adanya berbagai laporan soal kasus tersebut. Bukan justru mempertanyakan keabsahan data yang ada.

"Kita sebagai warga justru menanyakan ketika pak menteri sekarang merupakan otoritas resmi yang punya kekuasaan justru harus menindaklanjuti laporan-laporan yang sudah dilakukan oleh berbagai lembaga dari PBB, lembaga HAM Indonesia, LSM lainnya, dan tim relawan untuk kemanusiaan. Yang itu juga menjadi dasar dari investigasi yang waktu itu dilakukan oleh TGPF," kata dia.

"Jadi dalam konteks itu, ya nggak bisa (Fadli Zon) hanya mengatakan 'oh tidak ada bukti'. Lha bukannya pemerintah yang harus menindaklanjuti, karena saya enggak punya kekuasaan apapun untuk melakukan investigasi secara hukum," sambung Nursyahbani.

Nursyahbani juga mengkritisi pemerintah Indonesia yang selama 27 tahun tidak menindaklanjuti laporan TGPF kerusuhan Mei 1998. Ia berkeyakinan, Indonesia memang sejak awal tidak memiliki keinginan untuk secara transparan mengusut adanya pelanggaran HAM pada 1998 lalu.

"Jadi setelah sekarang, setelah 27 tahun tidak ada tindak lanjut dari TGPF, Saya kira kita sudah bisa mengambil keputusan bahwa pemerintah Indonesia atau negara Indonesia itu unwilling and unwanted untuk menindaklanjuti kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tahun 98 itu, khususnya yang terkait dengan pemerkosaan massal," imbuh dia.

Sebelumnya, Fadli Zon mengatakan pemerkosaan massal pada kerusuhan 13 sampai 14 Mei 1998 tidak memiliki data pendukung. Pernyataan ini disampaikan merespons kritikan sejumlah pihak atas pernyataannya di IDN Times.

"Fadli Zon: Laporan TGPF Cuma Sebut Angka Tanpa Data Pendukung," ujar Fadli dikutip pada Senin (16/6/2025).

Menurut Fadli, investigasi salah satu majalah pada saat itu juga tak bisa mengungkap fakta kuat soal penyebutan 'massal'. Sehingga, menurutnya perlu hati-hati.

"Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri," ujarnya.

Fadli Zon jadi sorotan publik usai menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998. Pernyataan itu berawal dari Fadli Zon ditanya oleh Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, tentang penulisan revisi buku sejarah Indonesia yang isinya minim peran perempuan.

"Kan gini, history, history, sejarah selalu kita mengatakan history itu adalah ada his, ya, not her, salah satu yang menjadi keberatan atau kritik adalah ketika melihat yang 30 halaman konsep penulisan buku sejarah ini sangat minim, misalnya peran perempuan masuk dalam sejarah," ujar Uni Lubis dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).

"Itu kan hoaks yang disebarluaskan seolah-olah kongres perempuan tidak ada," jawab Fadli Zon.

Saat ditanya tentang apakah sudah membaca isi draf revisi buku sejarah Indonesia itu, Fadli Zon mengaku belum membacanya. Dia mengatakan, tidak ingin mengintervensi apa yang sedang dikerjakan oleh sejarawan.

Dia mengaku, keterlibatan perempuan pada sejarah Indonesia sangat penting. Uni Lubis kemudian bertanya tentang peristiwa kekerasan yang dialami perempuan pada tahun 1998.

"Termasuk apa yang dialami oleh perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei '98 misalnya. Apakah itu masuk (dalam buku sejarah)?" tanya Uni Lubis.

Fadli Zon mengatakan, apa yang terjadi di peristiwa Mei '98 masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai ada pemerkosaan massal. Menurut dia, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei '98.

"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," ucap Fadli Zon.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us