Formappi: Ada Dinasti Politik, DPR Baru Tak Lebih Baik dari yang Lama

- Kinerja DPR periode 2024-2029 dinilai tidak lebih baik, banyak anggota terafiliasi dengan dinasti politik.
- Partai politik tidak melakukan perubahan internal secara signifikan, tangan besi partai memecat kader tanpa alasan yang jelas.
- Parlemen mendatang diprediksi tak akan memiliki partai oposisi, sinyal PDIP merapat ke pemerintahan semakin kuat.
Jakarta, IDN Times - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai kinerja dan kualitas 580 anggota DPR periode 2024-2029 tidak lebih baik dibandingkan anggota parlemen periode sebelumnya. Salah satunya banyak anggota DPR yang dilantik terafiliasi dengan dinasti politik.
Bahkan, tak sedikit anggota parlemen yang dilantik pada Selasa (1/10/2024) merupakan suami-istri. Setidaknya ada 79 anggota parlemen periode 2024-2029 yang terafiliasi dengan dinasti politik.
"Itu (terafiliasi dengan dinasti politik) saya kira indikator paling penting bahwa kinerja DPR mendatang tidak lebih baik. Tapi, ada faktor-faktor lain seperti jumlah kursi milik parpol yang tidak terlalu dominan, sehingga membuka peluang untuk terjadi lebih banyak negosiasi dan kompromi," ujar Lucius ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon, Selasa (1/10/2024).
Ia juga menyoroti peran partai politik yang tidak melakukan perubahan internal secara signifikan. Mereka masih menunjukkan sikap sewenang-wenang dengan memecat kadernya secara sepihak. Padahal, kader tersebut berhasil lolos ke parlemen lewat proses pemilu legislatif Februari lalu.
"Mereka itu memimpin dengan tangan besi. Mereka bisa memecat siapa saja yang tidak sesuai dengan aspirasi atau sikap politik partai. Tangan besi partai itu berhadapan secara langsung dengan suara rakyat yang memilih kadernya," tutur dia.
1. Diprediksi tidak ada partai oposisi di parlemen periode 2024-2029

Lucius pun tak menampik parlemen mendatang tidak akan mempunyai kelompok partai penyeimbang atau oposisi. Sebab, sinyal PDI Perjuangan (PDIP) merapat ke pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka semakin menguat. Bahkan, Prabowo mengaku ingin bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, sebelum dilantik pada 20 Oktober.
"Kan itu memang mimpi Pak Prabowo juga sejak awal, tidak ada oposisi. Bahkan, dia menggunakan teori presidensial, di mana teorinya tidak ada yang namanya oposisi," katanya.
Maka, Lucius menyebut indikasi pemerintahan ke depan akan cenderung otoritarianisme dan antikritik. Oleh sebab itu, ke depan bukan peran DPR yang lebih banyak diharapkan.
"Peran masyarakat sipil, kampus dan media yang lebih banyak diharapkan ke depan. Pemilu 2024 justru malah mengantarkan kita ke titik kerawanan yang jauh lebih serius," tutur dia.
Oleh sebab itu bila sudah ada indikasi kebebasan berbicara mulai dibatasi maka elemen masyarakat harus langsung melakukan konsolidasi, supaya upaya pembatasan kebebasan berbicara tidak berumur panjang.
2. DPR diprediksi hanya akan jadi stempel kebijakan pemerintah

Lebih lanjut, dengan komposisi tujuh parpol di parlemen sudah resmi menyatakan dukungan bagi Prabowo-Gibran, maka fungsi DPR ke depan dinilai Lucius tidak lebih dari stempel kebijakan pemerintah belaka. Tujuh parpol ini setara dengan 470 kursi. Bila PDIP ikut bergabung, maka total secara keseluruhan 580 kursi di parlemen sejalan dengan pemerintah.
"Bila presiden terpilih menjadi pemimpin koalisi, maka situasi DPR 2019-2024 terulang kembali. DPR hanya akan jadi stempel (kebijakan pemerintah) saja," kata Lucius.
Selain itu, Formappi juga menyoroti caleg laki-laki yang masih dominan di parlemen. Bahkan, jumlah anggota DPR perempuan yang terpilih tidak memenuhi ambang batas yakni minimal 30 persen.
"Maka, arena pertarungan menjadi sangat patriarkis," tutur dia.
3. Sebanyak 19 anggota DPR terpilih mundur karena ikut daftar jadi calon kepala daerah

Hal lain yang disoroti oleh Formappi yakni adanya 19 caleg terpilih yang ujung-ujungnya memilih mundur karena juga ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah. Menurut Lucius, seharusnya caleg tersebut juga mempertanggung jawabkan langsung ke konstituen yang sudah memberikan suaranya.
"Bagaimana pertanggung jawaban moral orang-orang ini ke pemilih? Nipu-nipu lagi? Atau bilang demi kecintaan rakyat di daerah makanya perlu jadi kepala daerah? Apakah dengan terpilih sebagai caleg tidak cukup untuk menunjukkan rasa cinta kepada daerah?" tanya Lucius.
Ia menilai caleg terpilih yang juga maju sebagai calon kepala daerah hanya menjadikan parlemen sebagai batu loncatan saja. "Mereka oportunis saja. Bukan karena benar-benar mencintai rakyat," tutur dia.
Sejumlah caleg terpilih yang mundur karena ikut maju sebagai calon kepala daerah antara lain Rano Karno (PDIP), Airin Rachmi Diany (Golkar), Dedi Mulyadi (Gerindra) hingga Emanuel Melkiades Laka Lena (Golkar).