Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Heru Hidayat Dituntut Mati, Kuasa Hukum Soroti Tuduhan Jaksa

(Heru Hidayat) ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Jakarta, IDN Times - Kuasa Hukum terdakwa kasus megakorupsi Asabri Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, menyoroti tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung pada kliennya. Jaksa menuntut Heru dengan hukuman mati dalam kasus tersebut.

Kresna menilai tuntutan JPU tak sesuai dengand akwaan dan fakta persidangan. Sebab, Jaksa tak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam surat dakwaan Heru Hidayat. Pasal itu mengatur pidana mati bagi terdakwa apabila melakukan korupsi dalam keadaan tertentu seperti bencana nasional, krisis moneter atau pengulangan tindak pidana.

"Kami menyoroti mengenai tuntutan mati oleh JPU yang menyimpang, sebab sejak awal JPU tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaannya, padahal jelas surat dakwaan adalah acuan dan batasan dalam persidangan perkara ini sebagaimana Hukum Acara Pidana," kata Kresna di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (13/12/2021).

1. Kuasa Hukum sebut kasus Asabri terjadi sebelum kliennya dihukum dalam kasus Jiwasraya

Asuransi Jiwasraya. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Selain itu, Kresna menilai JPU salah memahami pengulangan tindak pidana korupsi yang menyeret kliennya. Menurutnya kasus Asabri terjadi sebelum Heru dihukum dalam kasus Jiwasraya.

"Tuntutan JPU bahwa perkara ini adalah pengulangan tindak pidana sangat keliru, karena tempus perkara ini adalah 2012-2019, sebelum Pak Heru dihukum di kasus Jiwasraya. Sedangkan yang dimaksud pengulangan tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan setelah seseorang divonis, sehingga jelas perkara ini bukan pengulangan tindak pidana," katanya.

2. Kuasa Hukumsebut Jaksa salah karena sebut Heru Hidayat nikmati uang Rp12 triliun

Sidang kasus Asabri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (13/12/2021). (IDN Times/Aryodamar)

Kresna juga menilai JPU salah karena menyebut Heru Hidayat menikmati uang senilai Rp12 triliun. Sebab, ia menyebut Jaksa tak pernah membuktikan aliran uang itu kepada kliennya.

"Selain itu tidak ada saksi ataupun bukti surat yang menunjukkan adanya aliran uang sebesar itu kepada Pak Heru, sehingga bagaimana mungkin Pak Heru menikmati uang sebesar itu kalau tidak ada aliran uangnya," ungkap dia.

Lalu, Kresna menyebut bahwa Jaksa tidak tepat menuduh adanya kerugian negara sebesar Rp22 triliun. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya menghitung uang yang keluar dalam investasi Asabri tanpa menghitung keuntungan investasi Asabri ini.

"Dalam Persidangan, para ahli BPK menjelaskan angka kerugian sebesar itu muncul karena pemeriksa BPK hanya menghitung uang yang keluar dalam investasi Asabri pada saham dan reksadana pada periode 2012-2019, tanpa pernah menghitung keuntungan dan yang masuk ke Asabri dalam investasi saham dan reksadana pada periode 2012-2019," jelas dia.

Menurut Kresna, kliennya mendapat perlakuan tak adil apabila penghitungan kerugian negara yang keliru itu digunakan sebagai dasar menghukum Heru Hidayat. Sebab, investasi tersebut masih berpotensi untuk mendapatkan keuntungan.

"Lalu bagaimana nasib Pak Heru apabila misalnya dihukum, namun nilai saham dan reksadana tersebut naik di kemudian hari dan kemudian Asabri berhasil mendapatkan keuntungan? Nah, ini akan menjadi tidak adil," kata dia.

3. Kuasa hukum berharap kliennya divonis dengan adil

Sidang kasus Asabri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (13/12/2021). (IDN Times/Aryodamar)

Kresna mengatakan bahwa baik Heru maupun pihak Asabri tak berniat jahat. Ia berharap Jaksa mempertimbangkan sejumlah hal yang ia soroti sehingga kliennya mendapat putusan yang adil.

"Tentunya saat ini kami berharap agar Majelis Hakim dapat memutus perkara ini sesuai dengan koridor hukum dan fakta yang terjadi dalam Persidangan ini sehingga menghasilkan Putusan yang adil," ujar Kresna.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aryodamar
Dwi Agustiar
Aryodamar
EditorAryodamar
Follow Us