Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kala Wamenkum Bantah Dalil-Dalil dalam Sidang Gugatan UU BUMN di MK

IMG-20251013-WA0001.jpg
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej (YouTube/MK RI)
Intinya sih...
  • Wamenkum menyatakan para pemohon tidak memiliki legal standing.
  • MK diminta menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.
  • Sidang uji materiil terkait UU BUMN sempat ditunda.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej tampak hadir di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025). Kehadiran pria yang akrab dipanggil Eddy itu ialah sebagai perwakilan presiden yang memberikan keterangan terhadap sejumlah permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).

Sambil mengenakan jas berwarna abu-abu di atas mimbar sidang dan hadapan hakim MK, Eddy menyampaikan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing. Menurutnya, kerugian konstitusional yang dijalankan oleh para pemohon tidak bersifat spesifik, aktual, dan tidak potensial yang dapat dipastikan terjadi.

"Sebelum masuk pada pokok perkara izinkan pemerintah menanggapi kedudukan hukum atau legal standing para pemohon. Pemerintah berpandangan bahwa para pemohon dalam perkara a quo tidak memiliki kedudukan hukum sebagaimana dikatakan dalam pasal 51 ayat 1 Undang-Undang MK serta yurisprudensi Mahkamah Konstitusi," ucapnya dalam sidang yang juga dihadiri para pemohon.

Total ada empat permohonan dalam sidang yang dibahas hari ini.

1. Wamenkum sebut para pemohon tidak memiliki legal standing

(www.instagram/@kemhanri)
Wakil Menteri Hukum, Eddy O.S Hiariej (pojok kanan), Wakil Menteri Pertahanan, Donny Ermawan Taufanto (pojok kiri Wamenkum) dan Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto (di depan Wamenkum) di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). (www.instagram/@kemhanri)

Eddy lantas merinci latar belakang seluruh pemohon dalam perkara ini yang dianggap tak punya kedudukan hukum. Pertama, pihak pemohon yang berasal dari kalangan akademisi dosen dan mahasiswa dalam perkara nomor 38 dan 43. Pemerintah menilai, dalil kerugian hak atas pendidikan akibat pemotongan anggaran universitas yang dikaitkan dengan kebijakan efisiensi APBN untuk BUMN bersifat spekulatif. Kebijakan alokasi APBN adalah proses yang kompleks dan tidak ada hubungan sebab akibat secara langsung antara berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2025 dengan alokasi anggaran pendidikan.

Kedua, bagi pemohon yang berstatus sebagai wajib pajak pada perkara nomor 38 dan 80 disebutkan bahwa status pembayar pajak tidak secara otomatis memberikan kedudukan hukum untuk mempersoalkan setiap undang-undang terkait keuangan negara. Kerugian yang didalilkan bersifat abstrak dan tidak menyentuh kepentingan personal para pemohon secara spesifik.

"Ketiga, pemohon yang merupakan mantan terpidana korupsi dalam perkara nomor 44. Dalil adanya perlakuan diskriminatif karena status organ BUMN dikecualikan sebagai penyelenggara negara adalah keliru. Pemohon dipidana dalam kapasitannya sebagai pejabat lembaga negara dan rezim hukum administrasi. Sementara organ BUMN beroperasi dalam prinsip hukum koorporasi. Perbedaan perlakuan ini wajar, rasional, dan bukan bentuk diskriminasi," tegasnya.

Kemudian keempat, pemohon dari masyarakat sipil pada perkara nomor 80, disebutkan Eddy bahwa Kepentingan luhur untuk mewujudkan negara yang bersih dari KKN meskipun sangat dihargai, tidak serta dapat diterjemahkan sebagai kerugian konstitusional, spesifik, dan aktual yang dialami pemohon.

2. MK diminta menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Oleh sebab itu, Eddy menegaskan, seluruh dalil kerugian yang dialami para pemohon hanya berakar dari asumsi yang menganggap bahwa UU BUMN pasti akan menimbulkan korupsi. Kekhawatiran dari para pemohon itu hanya bersifat hipotesis dan spekulatif, bukan kerugian potensial yang dapat dipastikan akan terjadi.

"Oleh karena itu pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan sudah sepatutnya yang mulia majelis hakim mahkamah konstitusi menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," tegasnya.

3. Sidang uji materiil terkait UU BUMN sempat ditunda

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sebelumnya, MK menunda sidang uji materiil UU BUMN dengan agenda mendengar keterangan DPR dan Presiden. Sidang yang ditunda ini sekaligus untuk Perkara Nomor 38/PUU-XXIII/2025, 43/PUU-XXIII/2025, 44/PUU-XXIII/2025, dan 80/PUU-XXIII/2025.

Hal tersebut lantaran MK menerima surat dari DPR maupun Presiden yang memohon penundaan sidang dengan alasan belum siap menyampaikan keterangan yang sedianya dijadwalkan pada Kamis (25/9/2025). Dengan begitu, sidang hari ini dibuka MK untuk mengonfirmasi perihal permohonan penundaan sidang tersebut.

“Mahkamah melalui Kepaniteraan menerima surat permohonan penundaan karena keterangan belum siap baik dari DPR maupun dari Presiden, betul dari DPR itu seperti itu? Dari Presiden?,” ucap Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Hal demikian kemudian dikonfirmasi masing-masing kuasa DPR maupun Presiden. Karena itu, MK menjadwalkan persidangan untuk empat perkara dimaksud pada Senin, 13 Oktober 2025. “Dan mohon supaya tidak ada lagi permohonan untuk penundaan ya karena ini sudah, merupakan permohonan yang termasuk urgen,” kata Suhartoyo.

Sebagai informasi, Perkara Nomor 38/PUU-XXIII/2025 dimohonkan dosen Rega Felix mengenai permohonan pengujian Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 4B, Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) UU BUMN. Pemohon mempersoalkan adanya norma-norma yang memisahkan kerugian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan kerugian BUMN sebagai kerugian negara justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang menjadi amanat konstitusi.

“Bagaimana mungkin suatu badan yang menerima delegasi kewenangan secara langsung dari presiden pejabatnya tidak dikatakan sebagai penyelenggara negara, berdasarkan alasan-alasan tersebut lah Pasal 3X ayat (1), Pasal 9G, dan Pasal 87 ayat (5) undang-Undang BUMN sudah sepatutnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dan tidak sesuai dengan prinsip ketatanegaraan,” ujar Rega Felix dalam sidang pendahuluan pada Senin (28/4/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Sementara, Perkara Nomor 43/PUU-XXIII/2025 diajukan tiga mahasiswa yaitu A Fahrur Rozi, Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, Muhammad Jundi Fathi Rizky yang menguji Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 4B, Pasal 9G, serta Pasal 87 ayat (5) UU BUMN. Menurut mereka, norma-norma yang diuji itu menyebut keuntungan atau kerugian BPI Danantara bukan sebagai keuntungan atau kerugian negara dan pegawai/karyawan Danantara tidak dikategorikan sebagai penyelenggara negara dapat memicu praktik korupsi di lingkungan BUMN.

“Akibatnya keberlakuan a quo pada gilirannya hal ini menurut para Pemohon justru dapat menyuburkan praktik korupsi di lingkungan BUMN,” ujar Muhammad Jundi Fathi Rizky dalam sidang pendahuluan pada Senin (5/5/2025) di Ruang Sidang MK.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Peserta BPJS Kesehatan Tidak Bisa Berobat Puskesmas Jika Tak Skrining

13 Okt 2025, 16:56 WIBNews