Panglima TNI Dipanggil MK, Mabes: Tunggu Kesesuaian Agenda Negara

- Gugatan uji materiil UU TNI dihadapi langsung oleh dua wamen dan ketua Komisi I DPR.
- UU baru TNI diklaim tetap mengakui supremasi sipil, menegaskan kekuasaan politik berada di tangan para pemimpin sipil yang dipilih oleh rakyat.
- TNI disebut hanya membantu menangani ancaman siber di bidang pertahanan, termasuk dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan.
Jakarta, IDN Times - Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Freddy Ardianzah mengatakan TNI siap untuk memberikan keterangan pada pengujian materiil Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 mengenai TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Oktober 2025. Meski begitu, kehadiran Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto menyesuaikan dengan agenda negara yang ada. Pemanggilan Jenderal Agus untuk pengujian materiil perkara yang terdaftar 68 dan 92/PUU-XXIII/2025.
"Terkait agenda sidang tersebut, kehadiran Panglima TNI akan menyesuaikan dengan agenda resmi negara dan koordinasi antara pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Freddy ketika dihubungi pada Senin (13/10/2025).
"Pada prinsipnya, TNI siap memberikan keterangan sesuai kebutuhan dan undangan resmi dari MK, baik yang secara langsung maupun perwakilan yang ditunjuk sesuai mekanisme hukum yang berlaku," tutur dia.
Sebelumnya, kehadiran Jenderal Agus dibutuhkan keterangannya sebagai pihak terkait. Perkara nomor 68/PUU-XXIII/2025 mendalilkan Pasal 47 ayat (2) UU TNI disinyalir dapat berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan atas pengangkatan prajurit TNI pada jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan. Sedangkan, perkara nomor 92/PUU-XXIII/2025 mendalilkan Pasal 53 ayat 4 UU TNI berpotensi membuka penyalahgunaan wewenang eksekutif.
1. Gugatan uji materiil UU TNI dihadapi langsung oleh dua wamen dan ketua Komisi I DPR

Sementara, dalam sidang pengujian materiil UU TNI, langsung dihadiri oleh dua wakil menteri yang mewakili pemerintah. Keduanya adalah Wakil Menteri Pertahanan Donny Ermawan Taufanto dan Wakil Menteri Hukum Eddy O.S. Hiariej. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum, Dhahana Putra, juga hadir. Sementara, Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto mewakili parlemen.
Di dalam pembacaan keterangannya, Utut mengatakan, kedua pemohon tidak memiliki legal standing atau hak hukum. Karena dalam pandangan Komisi I DPR, kedua pemohon tidak memiliki pertautan antara kerugian hak dan atau kewajiban konstitusional yang didalilkan dengan batu uji.
"Namun demikian, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah pemohon memiliki kedudukan hukum atau legal standing sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi," ujar Utut seperti dikutip dari dokumen risalah persidangan, Jumat, 10 Oktober 2025.
Selain itu, politikus dari PDI Perjuangan (PDIP) itu menjelaskan ketentuan yang tertulis di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU Nomor 3 Tahun 2025, yang menyebut membantu tugas pemerintah di daerah dan penjelasannya pada frasa 'mengatasi masalah akibat pemogokan', bukan untuk membatasi hak konstitusional warga untuk berpendapat.
"Poin itu malah menekankan peran TNI yang bersifat membantu secara terbatas dan proporsional atas permintaan pemerintah daerah, khususnya ketika pemogokan berdampak pada terganggunya layanan publik," katanya.
2. UU baru TNI diklaim tetap mengakui supremasi sipil

Utut kembali menegaskan prinsip 'jarum jam tak akan mungkin ditarik mundur.' Artinya, konsep yang sudah ada sekarang tidak akan kembali pada konsep yang dulu telah disepakati untuk diubah.
"Supremasi sipil dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa kekuasan politik berada di tangan para pemimpin sipil yang dipilih oleh rakyat, yakni presiden. Sementara, sistem militer berfungsi sebagai alat negara untuk menjaga pertahanan, bukan pembuat kebijakan," kata Utut.
Ia menambahkan, istilah dwifungsi justru menimbulkan dikotomi, kecurigaan dan ketegangan yang merusak sistem checks and balances serta stabilitas politik dan pemerintahan. Lagipula supremasi sipil sudah tertuang di dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 dan menjadi pedoman di dalam pertimbangan hukum.
"Konsep supremasi sipil di dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 telah selaras dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan, presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara," tutur dia.
3. TNI disebut hanya membantu menangani ancaman siber di bidang pertahanan

Sementara, yang membacakan pandangan pemerintah adalah Wakil Menteri Hukum Eddy O.S. Hiariej. Ia menyoroti soal TNI yang terlibat lewat Operasi Militer Selain Perang (OMSP) berupa serangan siber. Frasa kata 'membantu' di dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 merujuk pada pertahanan siber.
"Yang dimaksud dengan membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber adalah TNI berperan serta di dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan. Dengan demikian, peran TNI di dalam ranah siber tidak dapat dipandang sebagai penyimpangan melainkan wujud nyata dari tugas konstitusional TNI, dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa baik dari ancaman fisik maupun nonfisik," kata Hiariej.
Sidang dilanjutkan pada Kamis, 23 Oktober 2025 untuk mendengarkan keterangan pihak terkait dari TNI, termasuk Panglima TNI dan ahli dari salah satu pemohon.