Kasus Mafia Migas, KPK Periksa Eks Direktur Keuangan Pertamina

- KPK melanjutkan penyidikan kasus mafia migas terkait dugaan pemberian hadiah atau janji di Pertamina Energy Services.
- Empat saksi, termasuk mantan Direktur Keuangan Pertamina, diperiksa terkait supply chain pembelian minyak bumi dan BBM.
- Kasus ini pertama kali diumumkan pada 2019, dengan dugaan suap 2,9 juta dolar AS yang diterima sejak 2010-2013.
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melanjutkan penyidikan kasus mafia migas yakni dugaan pemberian hadiah atau janji terkait dengan kegiatan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Services (PES). Hal itu dilakukan KPK dengan memeriksa sejumlah saksi.
"Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih," ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardika, dikutip pada Rabu (7/8/2024).
1. Ada 4 saksi diperiksa KPK

Ada empat saksi yang diperiksa KPK. Mereka adalah mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederick Siahaan, VP Power & NRE Direktorat Gas, Energi Baru & Terbarukan Pertamina Ginanjar Sofyan, Senior Analyst Downstream Pertamina Imam Mul Akhyar serta Account Receivables Manager PT. Pertamina Iswinan Dwi Yunanto.
"Penyidik mendalami supply chain pembelian minyak bumi (crude oil) dan BBM," ujarnya.
2. Kasus ini diumumkan ke publik pada 2019

Kasus ini pertama kali diumumkan KPK kepada publik pada September 2019. KPK menduga Bambang Irianto menerima suap 2,9 juta dolar Amerika Serikat yang diterima sejak 2010-2013.
Uang suap itu diduga terkait dengan bantuan yang diberikan Bambang kepada pihak Kernel Oil atas kegiatan perdagangan produk kilang dan minyak mentah kepada PES atau Pertamina di Singapura dan pengiriman kargo.
Suap diduga diterima melalui rekening penampungan dari perusahaan yang didirikannya bernama SIAM Group Holding Ltd. di British Virgin Island, sebuah kawasan bebas pajak.
3. KPK butuh 4 tahun untuk tetapkan tersangka

Laporan dugaan korupsi ini diterima KPK sejak 2015, Namun, KPK butuh 4 tahun untuk menetapkan status tersangka dalam kasus ini.
Salah satu penyebabnya adalah transaksi keuangan terjadi di luar Indonesia. Selain itu, KPK juga harus bekerja sama dengan otoritas di Hong Kong dan Singapura.