Kasus Mesin EDC, KPK Periksa Dirut Dana Pensiun BRI Ngatari

- Ngatari diperiksa sebagai saksi terkait dugaan korupsi pengadaan mesin EDC di Bank BRI.
- KPK telah menetapkan lima tersangka, termasuk mantan Direktur Utama Allo Bank dan Bank BRI.
- Kerugian negara akibat pengadaan mesin EDC mencapai Rp744 miliar dalam skema beli putus dan sewa.
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Utama Dana Pensiun BRI, Ngatari. Ia diperiksa terkait dugaan korupsi pengadaan mesin EDC di BRI pada 2020-2024.
"Hari ini KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan mesin EDC di BRI," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, Senin (6/10/2025).
1. Diperiksa sebagai saksi

Ngatari tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada pukul 08.57 WIB. Ia dijadwalkan diperiksa KPK sebagai saksi.
"Pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK," ujar Budi.
2. KPK sudah tetapkan lima tersangka

KPK diketahui telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah eks Direktur Utama Allo Bank, Indra Utoyo (eks Direktur BRI), eks Wakil Direktur Utama Bank BRI Catur Budi Harto, Sunardi (SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI), Elvizar (PT Pasifik Cipta Solusi), dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja (PT Bringin Inti Teknologi).
Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 18 Undang Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
3. Kerugian negara mencapai Rp744 miliar

Dalam konstruksi perkaranya, terdapat dua skema dalam pengadaan mesin EDC, yaitu skema beli putus dan sewa.
Dalam skema beli putus meliputi pengadaan pada 2020-2024 sebanyak 346.838 unit senilai Rp942 miliar. Sedangkan skema sewa untuk 2020 hingga 2024 sejumlah 200.067 unit senilai Rp1,2 triliun.
Dengan demikian, total anggaran dalam pengadaan tersebut, senilai Rp2,1 triliun. Sedangkan hitungan awal nilai kerugian keuangan negaranya mencapai Rp744 miliar.