Kejagung Periksa Eks Dirjen Kemendag untuk Kasus Tom Lembong

- Kejaksaan Agung memeriksa saksi terkait kasus korupsi importasi gula yang menyeret Tom Lembong.
- Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong diduga menyalahgunakan wewenangnya dengan memberikan izin impor gula kristal mentah sebesar 105 ribu ton pada 2015.
- Impor gula dilakukan tanpa koordinasi dengan instansi terkait dan diduga merugikan negara sekitar Rp400 miliar.
Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa dua saksi dalam kasus korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan pada 2015 sampai 2016 yang menyeret Tom Lembong.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan salah satu saksi yang diperiksa adalah Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan tahun 2016, Srie Agustina alias SA.
“SH selaku Kasubdit Hasil Industri pada Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis tahun 2015 dan SA selaku Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan tahun 2016,” kata Harli dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/11/2024).
1. Srie Agustina diperiksa untuk tersangka Tom Lembong

Harli menjelaskan, Srie dan SH diperiksa sebagai saksi untuk tersangka eks Menteri Perdagangan (Mendag), Tom Lembong.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” ujar Harli.
2. Kejagung tetapkan Tom Lembong tersangka korupsi

Sebelumnya, Kejagung menetapkan mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, Tom Lembong diduga menyalahgunakan wewenangnya saat itu. Ia diduga memberikan izin kepada PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah sebesar 105 ribu ton pada 2015, meski saat itu Indonesia sedang surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
"Akan tetapi di tahun yang sama, yaitu tahun 2015 tersebut, Menteri Perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," ujarnya.
3. Kerugian negara mencapai Rp400 miliar

Abdul Qohar mengatakan, impor gula yang dilakukan PT AP tidak melalui rapat kordinasi dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil. Seharusnya, pada saat itu hanya BUMN yang berhak mengimpor gula.
PT PPI kemudian seolah membeli gula tersebut. Padahal, delapan perusahaan itu telah menjual gula ke pasaran dengan harga Rp16 ribu per kilogram atau lebih mahal dibandingkan harga eceran tertinggi (HET) saat itu Rp13 ribu per kilogram.
CS diduga mendapatkan fee dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah diolah jadi gula kristal putih.
"Dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah diolah jadi gula kristal putih PT PPI dapat fee dari delapan perusahan yang impor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogram," ujarnya.
Kasus ini diduga merugikan negara Rp400 miliar. Namun, jumlah itu masih bisa berubah.