Kejari Jakpus Usut Korupsi Pusat Data Komdigi, Kerugian Ratusan Miliar

- Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa pengelolaan PDNS di Kemenkominfo periode 2020-2024.
- Pengkondisian pemenangan kontrak antara pejabat Kominfo dengan PT AL terjadi pada tahun 2020, dengan nilai kontrak yang terus bertambah hingga tahun 2024.
- Pemenangan proyek dilakukan tanpa masukan pertimbangan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sehingga terjadi serangan ransomware pada Juni 2024.
Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) tengah mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa pengelolaan pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kemenkominfo (sekarang Komdigi) periode 2020-2024.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakpus Bani Immanuel Ginting menyebut, pengusutan dugaan korupsi itu resmi dilakukan usai diterbitkan Surat Perintah Penyidikan terhitung sejak Kamis (13/3/2025).
"Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Safrianto Zuriat Putra menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-488/M.1.10/Fd.1/03/2025 tanggal 13 Maret 2025 dan memerintahkan sejumlah Jaksa Penyidik untuk melakukan penyidikan terhadap perkara tersebut," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/3).
1. Kasus bermula sejak 2020

Bani menjelaskan, kasus ini bermula pada tahun 2020, ketika Kemenkominfo melakukan pengadaan barang dan jasa PDNS senilai Rp958 miliar. Dalam pelaksanaannya, ia menyebut terjadi pengondisian pemenangan kontrak PDNS antara pejabat Kominfo dengan pihak swasta PT AL.
Ia menyebut pada tahun 2020, pejabat dari Kemenkominfo bersama perusahaan swasta mengondisikan pemenangan kontrak senilai Rp60,3 miliar kepada PT. AL. Pengkondisian itu kemudian berlanjut pada tahun 2021 dengan nilai kontrak bertambah menjadi Rp102,6 miliar.
"Pada tahun 2022, terdapat adanya pengondisian lagi antara pejabat di Kominfo dengan perusahaan swasta tersebut untuk memenangkan perusahaan yang sama," tuturnya.
2. Perusahaan pemenang proyek bermitra dengan pihak yang tidak memenuhi syarat

Hal itu dilakukan dengan menghilangkan persyaratan tertentu sehingga perusahaan tersebut dapat terpilih sebagai pelaksana kegiatan dengan nilai kontrak Rp188,9 miliar.
Kondisi itu kemudian terus berlanjut hingga perusahaan yang sama berhasil memenangkan proyek pekerjaan komputasi awan dengan nilai kontrak di tahun 2023 sebesar Rp350,9 miliar dan tahun 2024 senilai Rp256,5 miliar.
"Di mana perusahaan tersebut bermitra dengan pihak yang tidak mampu memenuhi persyaratan pengakuan kepatuhan ISO 22301," tuturnya.
3. Berakibat beberapa layanan tidak layak pakai

Bani mengatakan pemenangan proyek itu juga dilakukan tanpa adanya masukan pertimbangan kelaikan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai syarat penawaran.
"Sehingga pada Juni 2024 terjadi serangan ransomware yang mengakibatkan beberapa layanan tidak layak pakai dan tereksposenya data diri penduduk Indonesia," bebernya.
Bani mengatakan anggaran pelaksanaan pengadaan PDSN yang telah menghabiskan dana sebesar Rp959,4 miliar itu dilakukan tidak sesuai dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
"Atas dugaan tindak pidana korupsi tersebut diperkirakan menimbulkan kerugian keuangan negara dalam jumlah ratusan miliar," imbuhnya.