Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kemenkes Catat 2.621 Laporan Bullying Selama 2025

Jumpa pers Kemenkes terkait evaluasi PPDS. (IDN Times/Amir Faisol)

Jakarta, IDN Times - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat laporan perundungan 2.621 kasus, di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sepanjang 2025.

Irjen Kemenkes Murti Utami mengungkapkan, dari total data laporan yang masuk, sebanyak 620 masuk kategori perundungang (bullying). 

"Kemenkes sejak tahun lalu sudah membuka akses layanan pelaporan perundungan. Sampai 30 Maret kemarin kami sudah mendapatkan pelaporan sebanyak 2.621. Yang masuk dalam kategori perundungan itu sebanyak 620 laporan," kata Murti, dalam jumpa pers di Gedung Kemenkes, Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025).  

Menurut Murti, dari total laporan ini, paling banyak kasus bullying terjadi di rumah sakit vertikal, dengan jumlah 363 laporan.

"Jadi 620 laporan yang masuk yang lokusnya berada di rumah sakit vertikal atau punya Kemenkes, itu ada 363 laporan," kata dia.

1. Pelecehan seksual di PPDS ada tiga kasus

Dokter residen peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), Priguna Anugerah Pratama (PAP) saat ditunjukkan sebagai tersangka. (IDN Times/Illidan Al-Yusha)

Murti menjelaskan, secara spesifik tidak ada kasus pemerkosaan dalam laporan yang diterima Itjen Kemenkes. Namun ada laporan pelecehan seksual dari peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).

"Itu ada tiga laporan yang sudah masuk, dan sudah kita tindak lanjuti," ujar dia. 

Pertama, Murti memaparkan, kasus tersebut terjadi di program studi (prodi) anastesi Rumah Sakit Karyadi Semarang. Hingga saat ini prodi tersebut masih dibekukan. 

Kedua, kasus pelecehan seksual yang terjadi di prodi penyakit dalam di Rumah Sakit Kandau Universitas Samratulangi. Terakhir kasus pelecehan seksual di prodi anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

"Kami monitor, akan kami evaluasi bersama Irjen Kemendikti, dan nanti akan menjadi bagian rekomendasi untuk pembukaan prodi," kata dia.

"Harus evalusi dulu dan kami cek detil apakah sebatas komitmen yang disampaikan di sini tetapi fakta-fakta di lapangannya seperti apa, apakah prodi ini pantas dibuka atau tidak," sambung Murti.

2. Mendikti sebut kasus pelecehan di RSHS jadi alarm evaluasi PPDS

Mendikti Saintek,Brian Yuliarto saat ditemui wartawan usai Ngopi bareng dan Irfar bersama Mendiktisaintek di kantornya, Jakarta, Jumat (7/3/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek) Prof. Brian Yuliarto menyatakan kasus kekerasan seksual yang melibatkan dokter PPDS di RSHS Bandung menjadi alaram untuk memperbaiki berbagai persoalan yang terjadi di program pendidikan dokter spesialis. 

"Tidak ada toleransi terhadap segala bentuk kekerasan lebih dalam ruang pendidikan dan layanan kesehatan," kata Brian. 

Kemendiktisanintek, kata Brian, sedang menyusun langkah preventif agar kasus serupa tidak terulang, dan mahasiswa lain tidak menjadi korban. Namun di sisi lain, layanan kesehatan tetap berjalan tanpa terganggu.

Ian pun menyerukan kepada seluruh perguruan tinggi yang memiliki fakultas kesehatan, supaya bersama-sama membenahi masalah ini demi memutus mata rantai, sehingga kasus serupa tidak terulang kembali.

"Marilah kita lahirkan dokter-dokter yang tidak hanya cerdas, tidak hanya memiliki kualifikasi yang baik tetapi juga berintegritas dan bermartabat, serta menjunjung nilai-nilai kemanusiaan," kata dia.

3. Dokter PPDS bekerja seperti kurir

Gubernur NTB terpilih Lalu Muhamad Iqbal saat bertemu Menkes Budi Gunadi Sadikin membahas isu kesehatan di NTB. (dok. Istimewa)

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan selama ini peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) seringkali dipekerjakan seperti kurir.

Dia mengatakan, banyak dokter PPDS yang disuruh-suruh oleh seniornya dengan tugas, yang bukan menjadi tanggungjawab mereka.

"Mereka harus dorong-dorong tempat tidur pasien. Mereka harus bekerja disuruh-suruh sebagai kurir yang membawa bukti pemeriksaan lab atau request pemeriksaan lab, pengambilan obat. Itu bukan tugas mereka," kata Budi Gunadi.

"Itu bukan tugas mereka. Itu sudah ada orang lain yang bertugas di rumah sakit pendidikan," sambung dia. 

Selain itu, Budi Gunadi juga banyak mendengar bahwa dokter PPDS ini tidak diajarkan oleh konsulennya, melainkan oleh senior mereka. 

"Yang saya dengar banyak sekali yang mengajar ini malah dikan konsulennya, tetapi senior," ujar dia.

Share
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us