Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Sipil Soroti Pasal yang Disebut Berbahaya di Revisi UU ITE

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik (UU ITE).

Jokowi menandatangani UU Nomor 1 Tahun 2024 itu pada 2 Januari 2024. Perubahan undang-undang itu terlebih dahulu disahkan oleh DPR RI pada Selasa (5/12/2023).

Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menilai revisi UU ITE jilid II tetap memuat pasal bermasalah. Itu termasuk pasal pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

“UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia, jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya,” tulis Koalisi dalam keterangan resmi, dikutip Senin (8/1/2024).

1. Masih pertahankan masalah lama

Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Komunikasi dan Informatika dalam rangka pembahasan revisi UU ITE (Youtube/DPR RI)

Koalisi ini mencakup lebih dari 20 lembaga sipil, mulai dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), hingga Amnesty International Indonesia.

Mereka menemukan perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama. Antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil.

Kemudian, Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

2. Pasal 27 A dan B disebut berpotensi mengkriminalisasi dan multitafsir

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyerahkan salinan Pandangan Pemerintah terkait RUU untuk perubahan kedua UU ITE di Rapat Paripurna ke-10 masa sidang II tahun sidang 2023-2024 kepada Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023) (Youtube/DPR RI)

Ada juga ketentuan baru yang ditambahkan yakni Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. 

“Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis,” kata Koalisi.

Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran. Pasal ini dianggap berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini.

Serta pasal 28 ayat 3 berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

3. Berharap tak digunakan untuk mengkriminalisasi

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE dianggap Koalisi masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) meminta agar pemerintah  bisa memastikan implementasi UU No.1/2020 tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us