Komnas HAM: Perusakan Rumah Doa di Padang Persekusi dan Langgar HAM

- Aparat penegak hukum harus bertindak profesional, tidak diskriminatif, dan berorientasi pada keadilan bagi korban.
- Minimnya pemahaman tentang keberagaman dan nilai-nilai hak asasi manusia di tingkat akar rumput.
- Kurangnya komitmen nyata dari pemerintah daerah dalam menjamin kebebasan beragama dan kerukunan umat.
Jakarta, IDN Times - Komnas HAM menilai perusakan rumah doa pada kegiatan pembelajaran agama Kristen di rumah doa GKSI Anugerah, Padang Sarai, Koto Tengah, Kota Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli 2025, adalah pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal itu juga, kata Komnas HAM, adalah bentuk dari persekusi.
Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, menegaskan tindakan tersebut juga melanggar kebebasan berkumpul dan hak atas rasa aman yang dijamin dalam konstitusi dan instrumen hak asasi manusia.
“Segala bentuk persekusi dan penolakan terhadap praktik keagamaan maupun kegiatan pendidikan berbasis agama, adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius,” kata Pramono dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (6/8/2025).
1. Aparat penegak hukum harus bertindak profesional

Pramono mengatakan, negara melalui aparaturnya wajib menjamin perlindungan terhadap kelompok rentan yang menjadi sasaran intoleransi dan kekerasan berbasis agama.
“Penegakan hukum harus dilakukan secara akuntabel, tidak diskriminatif, dan berorientasi pada keadilan bagi korban,” ujarnya.
Menurut Pramono, aparat penegak hukum harus bertindak profesional, tidak tunduk pada tekanan mayoritas, serta menghindari pembiaran yang melanggar kewajiban negara dalam melindungi HAM.
2. Minimnya pemahaman tentang keberagaman dan nilai HAM

Komnas HAM mencatat tren tindakan intoleransi dan persekusi atas nama agama terus meningkat belakangan ini. Pramono menyebut situasi ini dipicu sejumlah faktor struktural dan kultural yang belum ditangani serius.
Pertama, minimnya pemahaman tentang keberagaman dan nilai-nilai hak asasi manusia di tingkat akar rumput, yang diperparah oleh narasi keagamaan eksklusif dan segregatif di ruang publik.
Kedua, pembiaran oleh negara dan lemahnya penegakan hukum menyebabkan pelaku intoleransi merasa tidak akan menghadapi konsekuensi hukum.
3. Komitmen pemerintah daerah dalam menjamin kebebasan beragama dinilai kurang

Ketiga, kurangnya komitmen nyata dari pemerintah daerah dalam menjamin kebebasan beragama dan kerukunan umat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 (PBM 2006).
“PBM kerap disalahartikan sebagai alat pembatasan, bukan sebagai panduan untuk menjamin hak beragama dan berkeyakinan secara setara,” kata Pramono.
Komnas HAM menilai implementasi PBM 2006 belum sepenuhnya menjamin perlindungan atas hak konstitusional warga negara.