Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mantan Koruptor Dibolehkan Ikut Pileg 2019? Ini Lho Dampaknya

ANTARA FOTO/Wahyu Nugroho

Jakarta, IDN Times - Komisi II DPR meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melarang mantan narapidana korupsi ikut mencalonkan diri dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Hal itu disampaikan oleh Komisi II ketika membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri. 

Ketiga pihak sepakat soal larangan bagi mantan napi kasus korupsi dikembalikan ke peraturan pada pasal 240 ayat 1 huruf g UU nomor 7 tahun 2017 mengenai Pemilu. Di dalam pasal tersebut tertulis seorang mantan napi yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh ikut mencalonkan diri. Asal, yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka ia pernah menyandang status narapidana sebelumnya. 

"Saya kira kesimpulan rapat sudah jelas, bolanya sekarang ada di KPU," ujar Ketua Komisi II, Zainuddin Amali dalam rapat pada Selasa (22/5) lalu. 

Lalu, bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat isu ini? Sebab, mereka termasuk salah satu pihak terdepan yang tengah atau sudah berhadapan dengan calon anggota legislatif dalam Pileg 2019. 

Uniknya, sikap di antara dua pimpinan KPK pun gak kompak dalam menyikapi isu tersebut. Hal tersebut tercermin dari pernyataan dua Wakil Ketua, Laode M. Syarif dan Saut Situmorang. 

1. Laode M. Syarif menentang rencana eks napi korupsi boleh ikut nyaleg di Pileg 2019

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180223/rsz-antarafoto-ott-lampung-selatan-150818-wpa-5-87c6b68064fb657f869abbf245ac8de8.jpg

Sejak awal isu itu bergulir, Syarif termasuk pihak yang menentang rencana eks napi korupsi bisa ikut kembali mencalonkan diri di pemilu legislatif 2019. Menurut Syarif, ada dampak fatal kalau eks napi korupsi ikut diizinkan nyaleg tahun depan. Pertama, saat ingin berbicara program anti korupsi, calon yang bersangkutan gak akan didengar publik. Mengapa? Karena rekam jejaknya justru menunjukkan ia pernah berbuat korup. 

"Ketika dia ingin mengatakan bahwa dia anti korupsi, ingin memperbaiki tata pemerintahannya yang baik ya gak mungkin didengerin sama masyarakat dan stafnya. Ah, loe aja juga pernah korupsi, lalu sekarang mau nyuruh-nyuruh saya juga supaya jangan korupsi. Maka, anjuran itu gak akan diperhatikan," ujar Syarif di gedung KPK pada Rabu (22/5). 

Kedua, image partai politik yang mengusung caleg itu malah bisa gak dipercaya publik. Selama ini, hampir semua parpol gak mau diasosiasikan dengan perbuatan korup. Tujuannya ya apa lagi supaya dipercaya oleh publik dan meraih kemenangan di pemilu. 

"Nah, kalau mantan napi korupsi itu didukung oleh parpol, nanti parpolnya akan dilihat oleh masyarakat gak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Jadi, tidak baik saya pikir dan malah akan merugikan image dari parpol itu sendiri," kata dia lagi. 

2. Indonesia seolah gak punya sosok calon pemimpin yang baik untuk maju di Pileg 2019

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180223/rsz-antarafoto-mk-uumd3-080218-ak-1-692f1b892d73dc4aba3b5e733144ee43.jpg

Syarif mengaku prihatin dan miris dengan pernyataan DPR dan pemerintah yang setuju eks napi korupsi boleh ikut pemilu 2019. Kesannya, Indonesia seolah kehabisan calon pemimpin untuk maju di pemilu tahun depan. 

Kalau pun publik gak ngeh calon pemimpinnya dulu pernah korup, tetapi penelusuran terhadap rekam jejak calon pemimpin mudah dilakukan melalui dunia maya. 

"Jadi, apakah kita kekurangan orang di seluruh Indonesia ini? Kenapa kita harus mau lagi (membiarkan) mantan narapidana dipush oleh parpolnya mau mencalonkan diri baik itu sebagai calon legislatif atau duduk di pemerintahan eksekutif," kata Syarif. 

Oleh sebab itu, ia tegas menolak kesepakatan yang dilakukan oleh Komisi II DPR, Bawaslu dan pemerintah. Dalam pandangan Syarif, hasil RDP Komisi II justru tak sesuai dengan komitmen parpol yang selalu mendengungkan agenda nomor satu adalah pemberantasan korupsi.

"Kalau mereka mencalonkan eks narapidana korupsi menurut saya (komitmen) itu perlu dipertanyakan," katanya lagi.

3. Pimpinan KPK yang lain setuju eks napi korupsi terjun di Pileg 2019

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20171110/antarafoto-setnov-tersangka-kpk-101117-ak-3-d6897bbceb5bda3d22ca89ad1ed836ab.jpg

Berbeda dari Syarif, pimpinan KPK lainnya yakni Saut Situmorang justru sepakat dengan Komisi II, Bawaslu dan pemerintah. Bagi Saut, eks napi korupsi gak masalah terjun kembali di pemilu asal mereka jujur mengaku kepada publik secara terbuka pernah dipenjara karena berbuat korupsi. 

Lagipula, eks napi korupsi juga memiliki kesempatan untuk membuat perubahan. 

"Kalau kita menghukum orang berkali-kali, di mana orang yang sudah mengakui kesalahannya sudah menjalani hukumannya, kita hukum dia berkali-kali dengan kesalahan yang sama ya itu hukum gak begitu. Hukum itu gak boleh dendam," kata Saut kepada media di tempat yang sama.

Seseorang yang telah dihukum, lalu menjalani hukuman dan mengakui secara terbuka serta jujur pernah dibui karena kasus korupsi, maka dianggap persoalan hukumnya sudah selesai. Kalau pun nanti, ia kembali terbukti berbuat korupsi maka tinggal dikenakan kembali UU Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya adalah pasal 2. Ancaman hukuman yang tertulis di sana bagi individu yang kembali berbuat korup, yakni hukuman mati.

Lalu, bagaimana dengan kamu apakah kamu setuju eks napi kasus korupsi mencalonkan diri di pemilu 2019?

 

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us