Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mendagri Tegaskan Gubernur Daerah Khusus Jakarta Dipilih Bukan Ditunjuk

Plt Menkopolhukam, Tito Karnavian ketika berada di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menegaskan di dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR bahwa Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tetap dipilih. Bukan ditunjuk langsung oleh presiden. Pernyataan itu untuk meredam ricuh yang berseliweran di publik bahwa di penghujung kepemimpinannya, Presiden Joko "Jokowi" Widodo bakal menyiapkan putra bungsunya, Kaesang Pangarep untuk menjadi pemimpin di DKJ. 

"Sikap pemerintah tegas tetap pada posisi dipilih atau tidak berubah dengan (metode) yang sudah dilaksanakan saat ini. Jadi, bukan ditunjuk," ujar Tito yang mendapat sambutan tepuk tangan dari hadirin di ruang Baleg, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (13/3/2024). 

Ia menambahkan draf RUU DKJ sejak awal tertulis bahwa Gubernur DKJ dipilih bukan ditunjuk. Sebelumnya, pernyataan Tito sudah disampaikan lebih dulu oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad. 

Elite Partai Gerindra itu menyatakan bahwa semua fraksi di DPR sudah sepakat dengan pemerintah bahwa mekanisme pemilihan gubernur di DKJ tetap melalui pilkada. 

"Kami sudah sepakat dengan pemerintah, bukan hanya (Partai) Gerindra bahwa semua parpol, sebelum reses sepakat bahwa pemimpin Daerah Khusus Jakarta tetap dipilih melalui pilkada," ujar Dasco pada 4 Maret 2024 lalu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. 

1. Ibu Kota baru pindah ke IKN Nusantara bila Keppres sudah terbit

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian di rapat Baleg DPR. (Tangkapan layar YouTube Baleg DPR)

Di forum itu, Tito juga menyebut bahwa proses transisi perpindahan ibu kota negara dilakukan secara bertahap. Sebab, sarana dan pra sarana secara fisik belum tersedia saat ini di IKN Nusantara. 

"Maka, penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat dilaksanakan secara fisik di kantor-kantor kementerian dan lembaga yang berada di Daerah Khusus Jakarta," kata mantan Kapolri itu. 

Tito juga menyebut perpindahan ibu kota baru bisa dilakukan bila presiden menerbitkan keppres. Hal itu tertuang di pasal 39 UU nomor 3 tahun 2022. 

"Mengenai kedudukan dan fungsi ibu kota negara tetap berada di provinsi Daerah Khusus Jakarta sampai dengan ditetapkannya tanggal pemindahan ibu kota negara dari DKJ ke ibu kota Nusantara dengan keputusan presiden," tutur dia. 

Itu sebabnya, kata Tito, ketika menyusun RUU IKN, tidak dicantumkan secara eksplisit kapan waktu pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur. Sebab, masih menunggu pembangunan fisik di sana rampung. 

"Untuk dibuat fleksibel diberikan kewenangan itu kepada presiden melalui keppres. Karena presiden yang paham kapan sarana dan prasarana itu siap. Ketika keppres diterbitkan maka saat itu lah ibu kota berpindah secara de jure dan de facto ke IKN," ujarnya lagi. 

2. Tito jelaskan aglomerasi di RUU DKJ bukan menyatukan area penyangga

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Tito juga meluruskan rumor yang berkembang bahwa Gibran nantinya akan disiapkan untuk memimpin Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang bersifat aglomerasi. Menurut dia, nama aglomerasi itu diputuskan melalui grup diskusi (FGD). Tujuannya, agar ada harmonisasi dan sinkronisasi program. 

Konsep itu dibahas dengan sejumlah pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dari Universitas Indonesia hingga UGM. Bahkan, pemerintah turut menggandeng Jimly Asshidiqqie sebagai pakar hukum tata negara untuk memberikan masukan terkait perancangan RUU DKJ.

Pembahasan itu sudah dibahas sejak April 2022. Sehingga, bila merujuk ke masa itu, belum dibentuk koalisi parpol menjelang Pemilu 2024. 

"Apalagi paslonnya. Kita belum tahu ketika diadakan FGD itu. Di situ lah muncul lah harmonisasi pembangunan mulai dari perencanaan hingga evaluasi," ujar Tito.

Sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan penyebutan aglomerasi, sempat muncul ide lain seperti Metropolitan atau Megapolitan. 

"Banyak yang menjadi permasalahan bersama, mulai dari lalu lintas, banjir, migrasi penduduk. Bahkan, merembet juga ke masalah kesehatan seperti COVID-19 dan lain-lain. Makanya, perlu harmonisasi dan evaluasi program. Saat itu ada beberapa istilah yang muncul. Apakah membentuk kawasan metropolitan Jakarta, Jadebotabek Jur, atau namanya Megapolitan atau namanya Aglomerasi," kata dia. 

Ia menjelaskan bila menggunakan istilah Megapolitan atau Metropolitan, seolah-olah kota satelit atau penyangga itu akan dijadikan satu pemerintahan dengan Jakarta. "Konsep ini banyak ditentang karena akan mengubah banyak undang-undang. Mulai dari UU Jawa Barat, UU Banten, UU Kota Depok, UU tentang Kota Bekasi," katanya.

"Akhirnya disepakati saat itu disebut saja wilayah itu aglomerasi yang berarti tidak ada keterikatan administrasi pemerintahan. Tapi, ini kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi problem bersama," tutur dia lagi. 

3. Aglomerasi DKJ akan dipantau oleh wakil presiden

Satgas Pamtas TNI ikut merayakan Natal 2023 di Kabupaten Maybrat, Papua. (www.instagram.com/@puspentni)

Tito kemudian menjelaskan alasan mengapa aglomerasi itu kemudian diputuskan ditangani oleh wakil presiden. Menurutnya, wilayah aglomerasi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tidak bisa ditangani oleh satu menteri saja, termasuk satu Menko. Butuh kerja sama lintas Menko. 

"Semua butuh kerja sama lintas Menko. Sehingga, hanya dua saja yang bisa menyelesaikan masalah kompleks dan membutuhkan koordinasi lintas Menko yakni presiden dan wakil presiden," kata dia. 

Saat itu, presiden dianggap memiliki tanggung jawab nasional. Pekerjaannya sangat luas. 

Maka, secara spesifik perlu ditangani oleh wakil presiden. Cara kerja serupa kata Tito mirip seperti yang dilakukan di Papua yakni Badan Percepatan Pembangunan Papua. 

"Tugasnya sama harmonisasi pemerintahan daerah. Prinsip pemerintahan daerah, eksekusinya dilaksanakan oleh daerah masing-masing. Ini sudah berjalan hampir dua tahun dan dipimpin oleh wapres. Karena Papua membutuhkan harmonisasi itu," katanya. 

Ia menyebut ada banyak program mengenai Papua yang tersebar di sejumlah kementerian. Mulai dari pembangunan infrastruktur jalan, kesehatan, pendidikan hingga perhubungan. 

"Tapi, ada disharmonisasi. Itu belum optimal. Apalagi kalau mau disambungkan dengan antar provinsi di Papua. Kita kan mau mempercepat pembangunan agar Papua tidak tertinggal. Gak nyambung lagi dengan pembangunan di 42 kabupaten atau kota," ujarnya. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Dwifantya Aquina
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us