Menelusuri Pendapat Publik Nasional tentang LGBT di Indonesia

JAKARTA, Indonesia —Pro dan kontra soal keberadaan kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia belum mereda. Isu dan topik soal LGBT kian marak diperbincangkan baik di ruang publik maupun privat.
Namun menarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang pandangan masyarakat tentang keberadaan kelompok LGBT. Karena itu, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) baru-baru ini merilis survei nasional mereka tentang LGBT.
Survei ini dilakukan tahun 2016-2017 selama tiga kali dengan jumlah responden sebanyak 1,220 orang dari berbagai provinsi di Indonesia.
Hasilnya cukup beragam. Namun dari keseluruhan survei bisa dilihat bahwa pada dasarnya masyarakat Indonsia masih memandang negatif LGBT. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menganggap kaum LGBT sebagai ancaman dalam kehidupan bermasyarakat.
Tapi yang menarik adalah, karena seperti ada "secercah harapan" dan optimisme serta hal yang positif yang bisa diambil dari temuan riset ini.
Meski masih dipandang negatif oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, namun pandangan ini tidak disertai dengan upaya dan niat yang diskriminatif. Terbukti, dari seluruh responden, sebanyak 57,7% meyakini bahwa kaum LGBT pun memiliki hak hidup yang sama di negara Indonesia, seperti warga lainnya.
Temuan lainnya adalah fakta bahwa 50% responden beranggapan bahwa pemerintah wajib melindungi kaum LGBT seperti halnya masyarakat Indonesia secara umum.
"Ini kabar yang menggembirakan. Bahwa orang Indonesia mayoritas, walaupun dia bilang (LGBT) enggak boleh, bertentangan dengan agama, tapi hampir 58% bilang mereka berhak hidup di Indonesia. Jadi ada toleransi," ujar Ade Armando, Direktur Media SMRC saat memaparkan hasil survei di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Januari.

Dari riset ini pun dijelaskan lebih lanjut, soal latar belakang pendidikan para respondennya. Di mana mereka yang berpendidikan tinggi (hingga perguruan tinggi) memiliki pendapat yang cukup terbuka dan toleran dibanding mereka yang berpendidikan rendah.
"Menunjukkan bahwa semakin tinggi level pendidikan seseorang, level toleransinya juga semakin tinggi, termasuk untuk menghargai keberagaman," tambah Ade.

Ibarat pembungkaman
Menanggapi hasil riset tersebut, Dina Listiorini, M.Si, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta mengungkap bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia yang minim dan terkadang berbasis kebencian, membuat sebagian masyarakat memandang LGBT sebagai ancaman.
Ditambah lagi, arus pemberitaan media yang banyak "menggiring" LGBT ke citra yang lebih negatif. Semua hal ini membuat kaum LGBT rentan dengan diskriminasi dan kekerasan. "Dan seperti ada upaya-upaya masif dan terstruktur untuk membuat mereka tertekan dan dikriminalisasi," ujar Dina.
"Tak cuma dari pemerintah, tekanan dan kekerasan yang diterima kaum LGBT pertama kali sebenarnya muncul dari keluarga," tambahnya.
Dina mengibaratkan diskriminasi yang dialami dan dirasakan kaum LGBT sama dengan mereka yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa tahun 1965.
"Orang tidak bangga punya anggota keluarga yang LGBT. Disembunyikan, disalahkan untuk setiap tindakannya, dikriminalkan. Kurang lebih sama. Proses pembungkaman inilah yang terjadi di tengah teman-teman LGBT," ungkap Dina lagi.
Tak kenal maka tak sayang
Peribahasa yang akrab di telinga masyarakat Indonesia ini dipilih Dr. Irwan Hidayana, seorang antropolog dari Universitas Indonesia untuk melihat bagaimana masyarakat memandang keberadaan LGBT di Indonesia.
Kebetulan, Irwan pun pernah melakukan riset serupa tahun 2012 soal LGBT. Dari riset tersebut, menurut Irwan hasilnya kurang lebih sama. Bedanya, ia bertanya apakah responden mengenal langsung seseorang yang gay atau waria.
"Responden yang kenal dengan kaum LGBT mempunyai sikap yang lebih positif ketimbang yang tidak kenal. Ketika ada anggota kelurga yang kenal, maka sebagian besar mengatakan tidak apa-apa. Persoalannnya, banyak orang bicara tentang LGBT tapi mereka tidak pernah berinteraksi langsung. Hanya bayangan-bayangan saja," ujar Irwan.
Tapi dilihat dari sisi historis dan kultural, sebenarnya cukup banyak masyarakat Indonesia yang mengakui, mengenal dan hidup bersama dengan individu atau kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda. Karena itu Irwan memandang pada dasarnya masyarakat Indonesia lebih toleran.
"Kita mengenal di Sulawesi Selatan ada Bissu, Calabai dan Calalai. Ada juga di Toraja pada masa lalu juga dikenal kelompok-kelompok yang punya identitas gender yang berbeda."
Menurut Irwan, soal penerimaan masyarakat akan kaum LGBT sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kelas sosial dan ekonomi. Ia mengambil contoh kaum waria yang secara sosial sudah banyak diterima hidup bersama di tengah masyarakat. "Tapi mereka tetap merasa didiskriminasi karena status dan kelas sosial yang berbeda.
Orientasi seksual bukan penyakit
Dari sudut pandang kesehatan, dr. Ryu Hasan seorang neuroscientist (ahli saraf) dengan tegas menyampaikan bahwa masalah orientasi seksual bukan penyakit. Ryu seakan ingin meluruskan bahwa ilmu kedokteran adalah bagian dari pengetahuan ilmiah yang bebas nilai. Artinya, pandangan moral dan kedokteran tidak bisa disamakan.
Normal atau tidak normal dari sudut pandang moral pasti berbeda dengan normal atau tidak normal dalam ilmu kedokteran.
"Kedokteran itu selalu memihak manusia. Yang disebut normal atau tidak normal adalah nilai atau batasan di mana orang itu gampang sakit atau gampang meninggal. Itu yang tidak normal. Itu kedokteran. Dokter itu jelas tujuannya individual human wellfare. Individu, bukan sosial," kata Ryu.
Kalau ditanya apakah LGBT itu kategori penyakit atau tidak, Ryu menjawab,"LGB (lesbian, gay dan biseksual) itu enggak sakit. yang T (transgender) itu yang sakit. Artinya, kalau LGB itu adalah orientasi seksual. Sementara yang namanya transgender adalah orang yang tidak nyaman dengan identitas gendernya. Ada perasaan tidak nyaman. Dalam tataran kedokteran, ini sakit karena ia tidak nyaman."
Sejak tahun 1973, buku panduan diagnosa dan terapi psikiater dan psikolog sedunia sudah menyatakan orientasi seksual bukan penyakit. Namun yang dikatakan terganggu itu kalau dia tidak nyaman dengan orientasi seksuaslnya. "Jadi homoseksual yang merasa terganggu dengan ke-gay-annya, itu yang disebut sakit dalam dunia kedokteran. Kenapa? Karena ia merasa terganggu dan tidak nyaman. Jadi yang dihilangkan apa? Perasaan tidak nayamannya, bukan mengubah orientasi seksualnya," jawab Ryu.
Selain itu, merujuk pada Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi ketiga yang ditetapkan Departemen Kesehatan, sudah mengeluarkan oreintasi seksual dari kelompok penyakit. "Ditegaskan pula di PPDGJ 3 orientasi seksual jangan sekali-kali dipandang sebagai penyakit. Yang bisa menimbulkan masalah itu adalah aksi dan aktivitasnya."
Terkait masalah penerimaan dan toleransi masyarakat terhadap kaum LGBT, Ryu berkomentar dari sisi ilmiah. "Keputusan moral sama dengan keputusan politik dan estetik. Toleransi itu bukan sifat homo sapiens. Karena itu pada umumnya manusia itu ingin mendekat dengan orang-orang yang sama dan tidak suka dengan yang berbeda dengan dia."
Agama perlu belajar lebih dalam
Di mata Dr. Martin Lukito Sinaga, seorang agamawan sekaligus dosen Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, agama terkadang kesulitan untuk menangani masalah dan isu LGBT.
"Masalah LGBT selalu jadi masalah minoritas. Jadi kalau dikategorikan sebagai sexual minority, harusnya tidak meresahkan. Tapi karena agama mellihat sexual minority ini masuk ke pentas publik, agama seperti kaget. Yang tadinya fungsi agama menstabilkan, kini masalah LGBT muncul, agama merasa kelabakan," kata Martin yang ditemui di tempat yang sama.
Dari agama Kristen sendiri, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sebelumnya sudah merilis surat pastoral yang menyampaikan pendapat gereja dan Kristen soal LGBT. "Surat pastoral ini mengajak warga gereja Kristen untuk membedakan dalam hal seksualitas. Ada orientasi dan perilaku seksual. Perilaku yang kadang mencemaskan. Orientasi atau pola ketertarikan seseorang itu bervariasi."
Karena perkembangan kehidupan terus berjalan dengan segala kebaruannya, menurut Martin, agama perlu terus belajar. "Bahwa urusan memahami seksualitas sebagai orientasi itu penting, bukan hanya sekadar hitam putih, ini salah dan ini benar."

Yang haram adalah sodomi dan zinah
Sementara di mata Imam Nahe'i, perwakilan Nahdlatul Ulama (NU), salah satu kesalahan yang paling banyak kelihatan adalah karena ketidakpahaman seseorang tentang LGBT. "Benci dan dengki boleh tapi jangan menutup nalar dari kebenaran. Alquran bicara soal gay di tingkat perilaku, sodominya."
Karena itu, Imam berkesimpulan bahwa orientasi itu tidak bisa dihukum, tapi kalau perilaku seksual itu beda lagi. "Yang disepakati haram di fikih cuma dua. Yang pertama zinah dan yang kedua sodomi. Kalau lesbi, ini masih debat. Sama dengan masturbasi, ulama masih berdebat."
Soal hasil riset SMRC yang menyebutkan bahwa kaum LGBT layak dilindungi pemerintah, Imam sepakat. "Negara seharusnya seperti Tuhan. Dalam hukum ulama, pemimpin itu adalah bayangan Tuhan di muka bumi. Kalau negara tidak seperti Tuhan, itu bukan negara. Jadi mau siapa saja kafir atau apa, semua harus dilindungi, berhak mendapatkan hak sebagai warga negara. Yang berhak menghancurkan adalah Tuhan. Tuhan saja membiarkan kok kita semangat sekali menghancurkan."
"Jangan menghakimi kami"
Mami Yuli, salah satu perwakilan dari Ketua forum Komunikasi Waria Indonesia menyebut bahwa aturan yang dikeluarkan pemerintah sudah jelas, yakni kriminalisasi hanya bisa dilakukan pada tindakan atau perilaku seksual yang dilakukan seseorang, bukan soal orientasi seksualnya.
"Ini persepsi yang harus diluruskan. Bahwa bukan LGBT-nya. Karena bukan hanya LGBT, orang normal juga banyak yang melakukan kriminal," ujarnya.
Yuli menegaskan, tidak semua kaum LGBT memiliki sifat dan perilaku yang jelek. Banyak yang bagus dan bahkan berprestasi. "Itu yang perlu diperhitungkan. Kami waria banyak yang punya edukasi tinggi. Tidak semua LGBT yang tidak punya nilai ibadah juga. Jangan ada pendapat yang menyudutkan kami.
Yang diharapkan Yuli mewakili kelompok LGBT adalah negara memenuhi hak dasar mereka. "Seperti hak mendapatkan pekerjaan, memperoleh pendidikan dan juga hak berekspresi. Jangan menghakimi kami tapi diskusi bareng untuk mencari solusi."
—Rappler.com