Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Miris, Ini 5 Dampak Reklamasi Bagi Nelayan Muara Angke

IDN Times/Vanny El Rahman

Jakarta, IDN Times- Reklamasi atau pembuatan daratan di Teluk Jakarta masih menjadi polemik. Selain merusak lingkungan, kegiatan tersebut juga memperburuk kondisi ekonomi para nelayan. Belum lagi para pemuda yang kehilangan harapan untuk mengubah situasi keluarganya.

“Dulu (sebelum reklamasi) maunya ya anak-anak disekolahin sampai kuliah. Kalau sekarang mikir begituan susah, sekali ngelaut cuma dapat Rp150 ribu,” ungkap Halil, nelayan Muara Angke yang selama 16 tahun menggantungkan hidupnya dari kerang hijau.

Lantas, apa saja sih dampak reklamasi bagi kehidupan para nelayan beserta keluarganya?

1. Pendapatan menurun drastis

Hasil tangkapan Halil setelah 22 menit menyelam (IDN Times/Vanny El Rahman)

Pertikaian antara pemerintah dengan nelayan tradisional ihwal reklamasi berawal dari tidak adanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Para nelayan tidak dilibatkan dalam menentukan bagian laut mana yang memiliki potensi ekonomi. Sehingga, kegiatan reklamasi tidak merusak ekosistem laut.

Dampak dari reklamasi yang tidak memperhatikan RZWP3K, karena tak kunjung dikeluarkan juga oleh Pemprov DKI Jakarta, adalah terganggunya pendapatan para nelayan. Aktivitas reklamasi merenggut habitat ikan dan kerang di Teluk Jakarta. 

“Sebelum reklamasi sekali ngelaut, cuma dua jam padahal, bisa dapet bersih sampe Rp1,5 juta. Jarak tempuhnya juga gak jauh, paling cuma ngabisin lima liter solar. Sekarang mah cuma dapat Rp150 sampai Rp100 ribu. Akhirnya kalau mau dapat banyak nyarinya jauh lagi, nah itu kan nambah lagi solarnya,” terang Halil.

2. Kerang hijau ukurannya semakin kecil dan berubah warna jadi hitam

Potret kerang hijau yang sudah menghitam. Diduga akibat aktivitas reklamasi (IDN Times/Vanny El Rahman)

Ukuran kerang hijau lambat laun semakin kecil. Sebelum reklamasi, satu kilogram setara dengan 20-30 kerang hijau. Sekarang, satu kilo gram seukuran 40-50 kerang hijau. Kendati tidak tahu pasti apa penyebabnya, menurut pengakuan Halil penyusutan ukuran kerang terjadi setelah reklamasi dimulai.

“Gak cuma itu, sekarang juga kerang hijaunya jadi hitam. Dulu mah sebelum reklamasi gak ada yang hitam gini. Apalagi pas lagi Pulau G dibangun tuh, kerang di sini hitam semua,” tutur lelaki berusia 51 tahun itu.

3. Air laut jadi kotor

IDN Times/Vanny El Rahman

Tidak hanya itu, Halil juga mengaku gatal-gatal setelah pergi melaut. Berdasarkan pengakuannya, air laut di Teluk Jakarta kini lebih kotor dan berbahaya bagi kesehatan kulit.

“Gatal-gatal pasti kalau habis ngelaut. Mungkin aja karena penambahan pasir di Pulau G itu akhirnya limbah-limbah yang mengendap di bawah laut ke angkat semua. Kemarin-kemarin kena penyakit kulit juga,” ungkapnya.

4. Terancam kehilangan rumahnya

IDN Times/Vanny El Rahman

Pembangunan pulau reklamasi tidak bisa lepas dari proyek tanggul laut raksasa (giant sea wall) yang telah dicanangkan sejak era Presiden Soeharto. Salah satu bagian dari proyek tersebut adalah perluasan dermaga di Kali Adem.

Berdasarkan pantauan IDN Times, pembangunan dermaga di Kali Adem sudah mulai berjalan. Pilar-pilar sudah berdiri tegak. Bila dermaga tersebut sudah jadi, Halil dan para nelayan yang mendiami kawasan Kali Adem terancam kehilangan rumahnya imbas perluasan.

Dermaga tersebut juga merugikan nelayan tradisional. Mereka tidak bisa melakukan kegiatan bongkar-muat tangkapan dekat dari dermaga. Pihak yang diuntungkan adalah nelayan cumi-cumi dan pemilik kapal tangkap ukuran besar. 

"Saya dulu pernah ikut kapal cumi, itu mereka rata-rata yang punya Cina," tutur Rois, nelayan millennial berusia 23 tahun yang tinggal di Muara Angke.

5. Anak muda di Muara Angke tidak bisa bermimpi lebih jauh

IDN Times/Vanny El Rahman

Tidak kalah menyedihkan, millennials di Muara Angke menganggap kuliah dan bekerja di perkantoran sebagai hal yang tidak realistis. Sebab, mereka sadar kondisi keluarganya yang tidak memiliki tabungan banyak. Jangankan untuk kuliah, memikirkan uang makan sehari-hari saja sudah sulit.

“Dulu pas kecil, karena tahu kan jadi nelayan itu dapat ikan banyak, kerang banyak, jadi ingin kerja di kantoran gitu. Tapi ya sekarang jadinya bantu bapak aja,” tutur Rois.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
Dwifantya Aquina
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us