Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Najwa Shihab Ungkap Sisi Kelam Peliputan Tsunami Aceh 2004

Najwa Shihab di acara "20 Tahun Tsunami, Kisah di Balik Layar" (Youtube: IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Tragedi tsunami Aceh 2004 menyimpan kisah-kisah mencekam dari para jurnalis yang bertugas meliput bencana tersebut. Najwa Shihab, salah satunya. Jurnalis yang akrab disapa Nana itu saat itu masih menjadi jurnalis muda yang turun langsung ke tempat kejadian.

Najwa membagikan pengalamannya yang mengharukan selama tujuh hari pertama meliput salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di dunia itu, dalam acara Nobar Film Smong Aceh yang digelar di plaza IDN, Jakarta, baru-baru ini. 

Dalam diskusi yang dipandu Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis, Najwa mengungkapkan bagaimana kondisi pemerintahan daerah Aceh yang lumpuh total pasca- tsunami, serta peran vital jurnalis dalam situasi kritis tersebut.

Najwa menyebut jurnalis tidak hanya bertugas melaporkan berita, tetapi juga menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat yang mencari keluarga mereka yang hilang.

1. Drama kemanusiaan di tengah peliputan

Najwa Shihab dalam sesi "Her Voice, Her Impact: Stories of Courage and Resilience" di acara IMGS pada Rabu (23/10/2024). (IDN Times/Tata Firza)

Para jurnalis menghadapi tantangan berat ketika harus membantu warga yang putus asa mencari keluarga mereka.

"Setiap saat aku jalan itu selalu dicegat orang. Nunjukin foto atau nitip pesan. Tolong ini anak saya keluarga saya, tolong dicarikan di mana," ungkap Najwa, mengenang situasi saat bencana tsunami Aceh.

Di sela-sela peliputan, jurnalis harus memutar rekaman video frame demi frame untuk membantu warga mengidentifikasi korban. Kondisi ini menjadi semakin berat karena jurnalis juga mengalami trauma sekunder (second hand traumatic).

"Saya gak pernah ngelihat orang sedemikian putus asa. Mata-mata orang yang sedemikian putus asa tuh, Bapak nyari anak, istri nyari suami. Gak apa-apa meninggal yang penting ada mayatnya. Itu dia kenapa kemudian ketika mayat bergelimpangan tuh berat banget harus dikubur masal," tutur Najwa, menggambarkan kesedihan mendalam yang ia saksikan.

2. Ketiadaan koordinasi pemerintah

Sejumlah wisatawan saat berkunjung ke Museum Tsunami Aceh di Banda Aceh, Minggu (14/4/2024). (ANTARA/Nurul Hasanah)

Kondisi pemerintahan daerah yang lumpuh total, kata Najwa, menyebabkan distribusi bantuan terhambat.

"Ketika itu kondisinya pemerintahan daerah lumpuh. Tidak ada pemerintahan daerah sama sekali di sana," kata Najwa menjelaskan kacauan pasca-tsunami.

Najwa juga menceritakan bagaimana masalah koordinasi menjadi kendala utama dalam penanganan bencana.

"Ami Alwi ini beras numpuk di sini, 100 meter di depan kita ada orang kelaparan. Untuk mengerakan beras numpukan untuk ke sana saja gak ada truknya. Ada truknya gak nemu kuncinya (kunci gudang tergembok)," ungkapnya.

"Saat itu, saya minta tembak aja (gemboknya)," ujar mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga sebagai narasumber dalam acara yang sama.  

3. Dilema peliputan live korban tsunami

Museum Tsunami Aceh (Dok. Pribadi)

Sementara, Uni Lubis mengungkapkan adanya pelanggaran etika jurnalistik saat peliputan, terutama oleh stasiun televisi.

"Waktu itu gambar-gambar jenazah itu ditayangin live karena feed-nya dikirim live. Dan kita banyak mendapatkan protes dari masyarakat," ujarnya.

Situasi di lapangan sangat mencekam, terutama di Lapangan Blang Padang yang dipenuhi jenazah.

"Di Lapangan Blang Padang itu kan, pada saat itu teman-teman yang belum pernah ke sana, itu kan rata, ya. Dan tubuh-tubuh perempuan itu telanjang. Tapi nancep di potongan-potongan pohon ya," ungkap Uni Lubis, menggambarkan kondisi mengerikan yang terpaksa diliput media.

Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya media meliput bencana dengan empati.

4. Pentingnya edukasi mitigasi bencana

Rapat koordinasi mitigasi banjir di Makassar, Selasa (12/11/2024). (IDN Times/Ashrawi Muin)

Najwa pun menekankan tentang pembelajaran terpenting dari tragedi tsunami Aceh, yakni pentingnya edukasi mitigasi bencana.

"Kita seharusnya melihat berbagai bencana yang terjadi di negeri ini adalah mempersiapkan diri, mempersiapkan keluarga, mempersiapkan anak-anak kita, dan mempersiapkan pejabat kita," katanya.

Meski saat ini sudah ada kurikulum tentang mitigasi bencana, kata Najwa, implementasinya dinilai belum maksimal. Hal ini terlihat dari minimnya kesadaran akan protokol keselamatan saat terjadi bencana, bahkan di kalangan pejabat tinggi.

Najwa mencontohkan kejadian di DPR ketika Kepala Badan Meteorologi Klmatologi dan Geofisika (BMKG) yang berlindung di bawah meja saat gempa, yang justru ditertawakan anggota dewan. Menurut dia hal ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman tentang mitigasi bencana di Indonesia.

Sejak peristiwa tsunami Aceh, Najwa pun mengaku telah menyiapkan tas ransel mitigasi bencana yang berisi berbagai keperluan, agar suatu saat jika terjadi bencana sudah siap digunakan.

"Di sini siapa yang di rumah punya ransel bencana?" tanya Najwa, yang hanya dijawab dengan tunjuk jari beberapa audien yang hadir. 

5. Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004

Museum tsunami Aceh (acehprov.go.id)

Diketahui, gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 atau lebih dikenal sebagai tsunami Aceh adalah peristiwa gempa bumi berskala besar, yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 07.58 WIB. Pusat gempa terletak di lepas pantai barat Sumatra.

Guncangan gempa berskala 9,1 hingga 9,3 magnitudo ini menewaskan sekitar 227.898 jiwa di 14 negara. Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Somalia, dan Maladewa negara paling parah terdampak.

Banda Aceh melaporkan jumlah korban jiwa terbanyak. Bencana ini dianggap sebagai bencana alam paling mematikan sepanjang abad ke-21, dan bencana terburuk sepanjang sejarah Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
fredlina nayla sahla
Rochmanudin Wijaya
fredlina nayla sahla
Editorfredlina nayla sahla
Follow Us