Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pakar: PKPU soal Batas Usia Gubernur Sudah Benar, Kenapa Diubah MA?

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari. (Dokumentasi Watchdoc)
Intinya sih...
  • Pakar hukum tata negara menilai putusan MA bermasalah dan tidak sesuai konsep judicial review. Putusan MA meminta KPU mengubah PKPU soal batas usia calon kepala daerah, diduga kuat ada kesengajaan politis. Di sisi lain, MA hanya memerlukan waktu tiga hari untuk mengubah aturan batas minimal usia kepala daerah sejak diproses pada 27 Mei, dan diputus pada 29 Mei 2024.

Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23/P/HUM/2024 yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) soal batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur, merupakan sebuah kekecauan di dunia hukum.

Sebab, menurut Feri, tidak ada yang keliru dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu mengenai calon pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota. Dalam PKPU tersebut tertulis untuk bisa menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, minimal berusia 30 tahun. 

"Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) betul-betul bermasalah. Tidak membaca undang-undang kah mereka? Apakah mereka tidak paham konsep judicial review (JR) terhadap PKPU atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang?" ujar Feri ketika dihubungi, Kamis (30/5/2024).

"Bahwa apa yang sudah diatur di dalam undang-undang kalau sudah berkesesuaian dengan peraturan di bawah undang-undang, seperti PKPU, maka dia tidak ada masalah," tegasnya. 

PKPU sebelumnya adalah aturan teknis yang tidak melabrak ketentuan undang-undang mengenai pemilihan kepala daerah tahun 2016. Oleh sebab itu, pemeran film dokumenter Dirty Vote tersebut menilai putusan MA itu bukan cerminan tidak paham.

Melainkan, kata Feri, diduga kuat ada kesengajaan, dalam rangka kisah masa lalu, di mana 'anak raja' dapat menabrak undang-undang. Sehingga, proses pemilu presiden (Pilpres) bisa berlangsung sesuai dengan kehendak Istana. 

"Kali ini terjadi lagi. Menurut hemat saya, bila motifnya memang politis, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari? Kenapa baru jelang pertandingan lagi, seolah tidak berhenti menyiksa perasaan politik publik," tutur dia. 

Putusan MA, kata Feri, dianggap semakin melukai perasaan publik di tengah kemunculan rancangan aturan yang kontroversial. Mulai dari revisi UU Penyiaran, revisi UU MK, hingga Peraturan Pemerintah (PP) soal tabungan perumahan rakyat (Tapera). 

1. Putusan MA membuka jalan bagi Kaesang bisa ikut Pilkada Jakarta

Poster berisi unggahan foto Budisatrio Djiwandono dan Kaesang Pangarep. (www.instagram.com/@gerindra)

Diketahui, isi putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 itu berdampak kepada batas waktu penghitungan usia bakal calon kepala daerah. Semula, KPU mengatur usia bakal calon kepala daerah dihitung pada saat penetapan calon tersebut sebagai kandidat yang akan berlaga di Pilkada 2024. Tetapi, MA mengubahnya hingga usia bakal calon kepala daerah dihitung pada saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitif. 

Momen putusan itu terjadi bersamaan dengan isu putra bungsu Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Kaesang Pangarep, digadang-gadang maju pada Pilkada Jakarta. Namun, bila mengacu PKPU, usia Kaesang belum cukup. Saat penetapan sebagai calon, usianya baru menginjak 29 tahun. 

Feri pun menduga putusan MA itu untuk mengakomodir keinginan politik Istana. "Siapa yang hendak disasar lewat pembatalan (PKPU) ini? Siapa yang diuntungkan lewat putusan ini? Desas-desusnya itu adalah Kaesang, karena dia belum berusia 30 tahun dan perlu untuk mendapatkan kesempatan maju dalam kontestasi Pilkada di kemudian hari," tutur dia. 

Menurut Feri, putusan itu akan menjadi preseden serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, kata dia, praktik dalam bernegara disesuaikan kepada kesukaan seseorang. 

"Tidak mungkin peraturan sekadar diubah hanya untuk membuka pintu bagi kepentingan orang-orang lain," katanya. 

2. Uji materiil sengaja tak dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi karena masih ada paman Kaesang Anwar Usman

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Sherlina Purnamasari)

Feri pun menduga sejak awal sudah direncanakan perubahan batas usia itu tidak digugat lewat Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kata dia, publik dinilai belum melupakan sepenuhnya peristiwa serupa yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden terpilih pada Pilpres 2024. 

"MK tidak sanggup lagi menanggung beban seperti sebelum Pilpres digelar. Apalagi di sana masih ada Pak Anwar Usman (paman Kaesang). Bila gugatan dimasukan lewat MK, maka akan membongkar peristiwa masa lalu terkait anak dan keponakan," ujar dia. 

Feri menduga Anwar akan kembali berpotensi kena sanksi tambahan lewat mekanisme Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). "Atau setidak-tidaknya Pak Anwar tidak akan boleh menyidangkan perkara ini, karena masih terdapat konflik kepentingan," tutur dia. 

Di sisi lain, MK sudah pernah memutuskan perkara terkait UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 7 mengenai syarat usia calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wali kota. Ketika itu, hakim konstitusi tegas mengatur bahwa hal itu merupakan open legal policy dan tak boleh dipermasalahkan. 

"Kecuali pembentuk undang-undang memperbaiki kealpaan atau berubah pikiran untuk mengubah syarat batas usia," kata Feri. 

3. MA hanya butuh tiga hari untuk ubah batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur

Ilustrasi gedung Mahkamah Agung (MA). (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Sementara, Mahkamah Agung (MA) hanya memerlukan waktu tiga hari untuk mengubah aturan batas minimal usia kepala daerah sejak diproses pada 27 Mei, dan diputus pada 29 Mei 2024.

Juru bicara MA, Suharto, menjelaskan cepatnya MA memproses uji materi terkait batas usia calon kepala daerah ini, sudah jadi asas ideal sebuah lembaga peradilan.

"Asas ideal itu salah satunya cepat. Karena asasnya pengadilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jadi cepat itu yang ideal," ujar Suharto ketika dikonfirmasi, Kamis (30/5/2024). 

Adapun putusan Nomor 23 P/HUM/2024 ini diperiksa dan diadili majelis hakim yang dipimpin hakim agung Yulius serta hakim agung Cerah Bangun dan hakim agung Yodi Martono Wahyunadi sebagai anggota majelis. Penggugatnya adalah Ahmad Ridha yang notabene politikus Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), yang mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us