Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pasal di KUHP Dianggap Diskriminatif pada Penyandang Disabilitas

Direktur RSJ Prof Muhammad Ildrem, Ria Novida Telaumbanua memantau jalannya proses vaksinasi untuk Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan menjadi Undang-undang pada 6 Desember 2022 oleh DPR dan Pemerintah melalui rapat paripurna. Namun, usai disahkan, ternyata KUHP dinilai masih memiliki pasal diskriminatif, khususnya pada penyandang disabilitas.

Seperti disitat dari akun instagram resmi SAFEnet @safenetvoice, ada sejumlah pasal yang dianggap diskriminatif pada penyandang disabilitas.

Diketahui, sebelumnya Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly dalam sambutannya mengatakan, pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.

Menurut Yasonna, produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. 

“Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia. Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan situasi di Indonesia,” katanya, Selasa (6/12/2022).

1. Pelaku dengan disabilitas mental disebut bisa dikurangi pidananya, bukan ditiadakan

Ilustrasi ODGJ saat vaksinasi COVID-19 di Banten (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Adapun pasal yang dianggap diskriminatif pada penyandang disabilitas yang disorot SAFEnet di antaranya:

Pertama adalah pasal 38: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya
dan/atau dikenai tindakan

Pasal ini dianggap tidak ada penghapusan pidananya, namun hanya pengurangan pidana. Padahal pelaku pidana disabilitas mental kerap tidak melakukan perbuatannya dalam keadaan sadar, sehingga tak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.

Dijelaskan dalam bagian penjelasan, bahwa yang dimaksud dengan “disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian.

Selain itu disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. Sedangkan yang dimaksud dengan “disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.

Kemudian, pelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual, dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.

2. Pasal lain yang disorot berkaitan dengan penyandang disabilitas di KUHP

Ilustrasi membuat laporan polisi. (IDN Times/Dwi Agustiar)

Berikutnya atau kedua, yakni Pasal 26: (1) Dalam hal Korban Tindak Pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi Korban Tindak Pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.
(2) Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3) Dalam hal suami atau istri Korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.

Dalam hal ini, terampu tak dapat laporkan sendiri peristiwa dugaan pelanggaran pidana pada dirinya. Tetntunya menyalahi prinsip kesetaraan di muka hukum dan perlindungan hukum. Bertentangan dengan KUHAP pasal 108 ayat 1.

3. Pasal soal kekambuhan pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental

Kondisi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, Cipayung, Jakarta Timur (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Ketiga, yakni ada di pasal 39 yang berbunyi: Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat
tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

SAFEnet menengarai, pasal ini diberlakukan merata (status-based discrimination). Dalam konteks disabilitas psikososial, dianggap perlu dipertimbangkan fluktuasi dari kondisi mental seseorang, dan pendekatan pasal ini dianggap tak bisa all or nothing.

Dalam bagian penjelasan, dijelaskan bahwa dalam ketentuan ini, untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rendra Saputra
Lia Hutasoit
Rendra Saputra
EditorRendra Saputra
Follow Us