Peneliti BRIN Nilai Regulasi Jenis Rokok Tak Bisa Dipukul Rata

- Rokok konvensional menghasilkan tar dan berbagai senyawa kimia.
- Pemerintah perlu melihat tembakau secara proporsional.
- Kebijakan pemerintah, tarif cukai, larangan penggunaan, harus didasarkan kajian ilmiah
Jakarta, IDN Times - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Prasetya menilai pentingnya pendekatan berbasis risiko dalam merumuskan regulasi terkait produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik (vape) dan produk tembakau yang dipanaskan (konvensional).
Hal tersebut berdasarkan kajian BRIN bahwa ada perbedaan profil risiko kesehatan dari produk tembakau alternatif dibandingkan rokok konvensional yang dibakar.
1. Rokok konvensional menghasilkan tar dan berbagai senyawa kimia

Bambang menjelaskan, rokok konvensional menghasilkan tar dan berbagai senyawa kimia. Sebaliknya, produk yang hanya dipanaskan atau menggunakan sistem cairan (vape) tidak melalui proses pembakaran, sehingga kandungan tar-nya jauh lebih rendah atau nyaris nol.
"Yang dimanfaatkan dalam produk-produk ini sebenarnya adalah nikotin, yang secara kimiawi termasuk dalam kelompok bahan penyegar seperti kafein pada kopi atau teh," ujar dia.
Bambang menambahkan, nikotin tidak serta-merta menjadi sumber utama risiko kesehatan, melainkan zat tambahan hasil pembakaran tembakau konvensional.
Ia mengungkapkan, kajiannya dilakukan secara komprehensif melalui literature review dan pengujian laboratorium terhadap sampel produk yang beredar di pasar Indonesia. Penelitian itu melibatkan laboratorium independen guna menjaga objektivitas dan validitas hasil. Beberapa hasil studi BRIN tersebut sudah diterima di jurnal ilmiah.
“Ada juga yang masih menunggu publikasi,” ujarnya.
2. Pemerintah perlu melihat tembakau secara proporsional

Selain menyoroti aspek kesehatan, pemerintah perlu melihat tembakau secara proporsional karena merupakan komoditas strategis nasional. Industri ini menyumbang lebih dari Rp300 triliun per tahun dalam bentuk cukai dan pajak, serta menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, khususnya di sektor pertanian dan manufaktur.
Terkait regulasi Kawasan Tanpa Rokok yang sedang digodok di Jakarta, termasuk pembatasan merokok di sektor hiburan seperti bar dan karaoke, Bambang menekankan perlunya pembedaan aturan antara rokok konvensional dan produk alternatif.
“Kalau regulasi ingin adil, harus berbasis risiko. Produk yang tidak menghasilkan tar seharusnya tidak disamakan dengan yang menghasilkan tar dalam penerapan pembatasan maupun tarif cukai,” jelasnya.
3. Kebijakan pemerintah, tarif cukai, larangan penggunaan, harus didasarkan kajian ilmiah
Bambang menegaskan, kebijakan pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan tarif cukai maupun larangan penggunaan, harus didasarkan pada kajian ilmiah.
"Regulasi perlu memperhatikan hasil penelitian yang sahih supaya fair. Agar regulasi tidak hanya melindungi kesehatan, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi nasional dan keberlangsungan tenaga kerja," kata dia.
Sebagaimana diketahui, tingginya angka perokok di Indonesia memang menjadi masalah besar yang belum kunjung terselesaikan oleh pemerintah. Angka perokok aktif di Indonesia diperkirakan mencapai 70 juta orang saat ini dan terus meningkat. Berbagai kebijakan pembatasan rokok, peringatan kesehatan, hingga peningkatan tarif cukai terbukti tidak efektif dalam menanggulangi dan menekan angka perokok aktif di Indonesia.