Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pengacara Yosua: Apa Harga Diri Keluarga Boleh Jadi Dasar Bunuh Orang?

Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat (kanan) bersama atasannya Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy sambo (kiri). Foto: Facebook Rohani Simanjuntak.

Jakarta, IDN Times - Pengacara keluarga Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Johnson Panjaitan, mempertanyakan dalih Ferdy Sambo tega membunuh ajudannya sendiri.

Ia pun bertanya, apakah hanya karena menjabat sebagai Kadiv Propam Polri, maka harkat dan martabat keluarga yang terluka bisa menjadi alasan untuk membunuh Brigadir J dengan keji. 

"Apakah (karena) emosi, harga diri keluarga, (pelecehan) seksual, apakah dapat dijadikan dasar dan sah secara hukum untuk membunuh orang secara sadis? Sementara, dia adalah Kadiv Propam di Mabes Polri," ujar Johnson secara lantang, ketika berbicara dalam diskusi yang digelar oleh Public Virtue dan dikutip dari YouTube pada Kamis, (1/9/2022). 

"Apa boleh (membunuh orang) dengan alasan itu? Di mana senjata (untuk membunuh Yosua)? Siapa yang harus mempertanggungjawabkan ini?" tanya dia lagi di forum yang sama. 

Selama ini, Ferdy Sambo mengaku kepada penyidik tim khusus bentukan Kapolri, bahwa penyebab ia tega membunuh Brigadir J karena personel Polri berusia 27 tahun itu telah melecehkan sang istri, Putri Candrawathi. Peristiwa dugaan terjadinya pelecehan pun bergeser dari semula disebut terjadi di rumah dinas, lalu kini disebut di rumah pribadi di Magelang. 

Belum diketahui apakah ada bukti yang mendukung ucapan Putri tersebut. Namun, peristiwa di Magelang ikut diperagakan dalam rekonstruksi 30 Agustus 2022 lalu. 

Di sisi lain, Johnson mendengar sejumlah pengacara ternama kini sedang berebut untuk menjadi kuasa hukum Sambo. Apakah ada peluang Sambo bebas ketika kasusnya bergulir di pengadilan?

1. Penyidik Polri harus cermat menyusun konstruksi penyidikan, bila tidak Sambo bisa bebas

Hakim Mahkamah Agung periode 2011-2018 ketika mengikuti diskusi reformasi Polri pada Kamis, 1 September 2022. (Tangkapan layar YouTube Public Virtue)

Mantan Hakim Agung, Topane Gayus Lumbuun, menilai Ferdy Sambo bisa saja bebas di pengadilan. Hal itu bisa terjadi bila penyidik tidak cermat dalam menyusun konstruksi penyidikan.

Preseden serupa, kata dia, sudah pernah terjadi dalam kasus pembunuhan terhadap aktivis buruh, Marsinah pada 1995 lalu. Hakim Mahkamah Agung memvonis bebas sembilan terdakwa pembunuh Marsinah. Hingga kini, pembunuh sesungguhnya Marsinah belum tertangkap.

"Saya khawatir konstruksi penyidik ini bias. Bila konstruksi penyidikan tidak kuat, maka ada potensi lain yang bisa menyebabkan bergeser dan akan memudahkan para tersangka atau terdakwa. Misalnya, perubahan-perubahan (keterangan) yang terjadi dan tidak terkonstruksi dengan baik," ungkap Gayus ketika menjawab pertanyaan IDN Times pada hari ini. 

Ia mengatakan, ada ketentuan yang dipegang oleh para hakim, bila mereka ragu terhadap kasus yang disidangkan, maka mereka diarahkan untuk memilih vonis teringan bagi terdakwa.

"Hakim tidak akan mau menghukum satu orang yang tidak bersalah. Lebih baik melepaskan 10 orang yang bersalah. Ini konsep yang saya khawatirkan bisa terjadi dan lebih urgent dibandingkan pencabutan keterangan," tutur dia. 

Oleh sebab itu, ia mewanti-wanti agar penyidik timsus Polri benar-benar cermat menyusun konstruksi kasus pembunuhan Brigadir J. Agar tidak dimentahkan oleh hakim di pengadilan. 

"Bila konstruksi (kasusnya) tidak jelas, maka hakim akan kebingungan dalam menentukan vonis. Hakim akan mengambil keputusan yang paling baik untuk terdakwa," ujarnya lagi. 

2. Pencabutan keterangan saat rekonstruksi sudah biasa terjadi

Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, bersama istrinya, Putri Candrawathi, saat reka adegan pembunuhan Brigadir J (IDN Times / Irfan Faturrohman)

Sementara, mengomentari perbedaan keterangan saat rekonstruksi ulang, dalam pandangan Gayus, hal tersebut sudah biasa terjadi. Di dalam hukum, hal tersebut dinamakan "hak ingkar".

"Itu hal yang wajar (ada tersangka mencabut keterangan) di pengadilan. Itu adalah hak ingkar namanya, itu masuk ke dalam hak asasinya," ujarnya. 

Ia menambahkan bila peristiwa itu terjadi dalam kasus Sambo, maka hakim nantinya bisa menggunakan pendekatan lain.

"Hakim bisa mendatangkan orang yang berkaitan pencabutan (keterangan) itu. Penyidik yang menyidik kasus, misalnya," tutur dia. 

Salah satu perbedaan keterangan yang substantif yakni perbedaan informasi saat terjadi eksekusi mati Brigadir J. Saat rekonstruksi dilakukan pada 30 Agustus 2022 lalu, Richard Eliezer mengaku tak menembak sendiri. Sambo ikut menembak kepala Brigadir J. 

Namun, Sambo justru menyangkal. Ia malah menyebut pelaku pembunuhan Brigadir J hanya satu yakni Richard. Sambo mengaku hanya memberi instruksi kepada Richard. 

3. Amnesty International mendorong penyidik tak banyak andalkan keterangan para tersangka

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam konferensi pers Amnesty International Indonesia secara daring Senin (13/12/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara, Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, ikut mewanti-wanti penyidik dari timsus Polri agar cermat dalam menyusun berkas. Jangan sampai ada bukti dan keterangan dari para saksi yang luput. 

"Jangan terlalu bergantung kepada keterangan dari para tersangka. Apalagi dari rekonstruksi yang digelar kemarin, keterangan-keterangan para tersangka sudah berbeda satu dengan yang lainnya," ujar Usman kepada media pada Rabu, 31 Agustus 2022. 

Ia menduga sikap para tersangka bakal memilih untuk melindungi diri masing-masing ketika di pengadilan. Sebab, saat di pengadilan, mereka bakal dihantui vonis yang berat. 

"Mereka akan berhadapan dengan masa depannya. Apakah 10 tahun lagi baru bebas, atau 5 tahun lagi. Apakah nanti mereka saling memberatkan atau justru saling meringankan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab pada waktunya nanti," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Vanny El Rahman
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us