Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pernyataan Fadli Zon Dinilai Kaburkan Fakta Kekerasan Mei 1998

Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon. (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai, proyek penulisan ulang sejarah yang dipimpin Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan justru menghapus narasi penting soal pelanggaran berat HAM dari ruang publik.
  • Pernyataan Fadli Zon dinilai tidak menunjukkan empati kepada korban, termasuk perempuan yang berjuang bersama mereka.
  • Pernyataan Fadli Zon dinilai sebagai upaya mendiskreditkan kerja TGPF.

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu, mengecam keras pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, terkait Peristiwa Mei 1998. Pernyataan Fadli ini dilontarkan dalam wawancara Real Talk With Uni Lubis berjudul “Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025.

"Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998," kata Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, dikutip Selasa (17/6/2025).

1. Pernyataan Fadli Zon dinilai tidak berempati

Ilustrasi refleksi Tragedi Mei 1998. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Ilustrasi refleksi Tragedi Mei 1998. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas juga menilai, proyek penulisan ulang sejarah yang dipimpin Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan, justru menghapus narasi penting soal pelanggaran berat HAM dari ruang publik.

Pernyataan Fadli Zon dinilai tidak menunjukkan empati kepada korban, termasuk perempuan yang berjuang bersama mereka.

"Ia telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan untuk secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa," ujar Koalisi.

2. Pernyataan Fadli Zon diniai upaya mendiskreditkan kerja TGPF

Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita Fatia Nadia dalam diskusi yang digelar oleh FEH Universitas Ciputra yang bertajuk Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi Mei'98) (YouTube/ FEH UC)
Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita Fatia Nadia dalam diskusi yang digelar oleh FEH Universitas Ciputra yang bertajuk Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi Mei'98) (YouTube/ FEH UC)

Koalisi menilai, pernyataan Fadli Zon dinilai sebagai upaya mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah mendokumentasikan dan menyelidiki peristiwa Mei 1998, termasuk kekerasan seksual.

TGPF dibentuk Presiden BJ Habibie pada Juli 1998 dengan melibatkan unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi masyarakat. Selama sekitar tiga bulan, TGPF menelusuri fakta, pelaku, dan latar belakang peristiwa di berbagai lokasi, sebelum merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998 yang memuat temuan-temuan penting terkait kekerasan seksual.

3. TGPF temukan 52 korban perkosaan dan 14 lainnya dengan penganiayaan

Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)
Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)

Laporan akhir TGPF mencatat adanya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan, serta Surabaya. Bentuk kekerasan seksual yang teridentifikasi meliputi: perkosaan, perkosaan disertai penganiayaan, penyerangan atau penganiayaan seksual, dan pelecehan seksual, yang berlangsung di rumah, jalan, dan depan tempat usaha.

TGPF menemukan 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Temuan ini diperoleh dari keterangan korban, keluarga, saksi mata, tenaga medis, pendamping, hingga rohaniawan.

Kekerasan seksual juga terjadi sebelum dan sesudah Mei 1998. Di Medan, dilaporkan ratusan korban pelecehan seksual pada 4-8 Mei 1998. Pasca kerusuhan, tercatat dua kasus di Jakarta pada 2 Juli 1998 dan dua kasus di Solo pada 8 Juli 1998.

4. Penargetan perempuan Tionghoa sebagai korban

Potret suntingan rekaman video peristiwa Tragedi 12 Mei 1998 Trisakti (humas.trisakti.ac.id)
Potret suntingan rekaman video peristiwa Tragedi 12 Mei 1998 Trisakti (humas.trisakti.ac.id)

Sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh beberapa pelaku secara bergantian, bahkan di hadapan orang lain. Pelapor Khusus Komnas Perempuan menemukan perempuan Tionghoa sengaja menjadi target, terlihat dari kesaksian seorang perempuan yang luput dari pemerkosaan setelah ibunya yang pribumi meyakinkan pelaku bahwa ia adalah anaknya.

Meski temuan ini telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut, hingga kini tidak ada penyelesaian hukum yang memadai di tingkat penyidikan hingga proses pengadilan.

"Namun fakta memilukannya adalah hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah tuntas. Tidak pernah ada pengungkapan kebenaran, kepastian bahkan keadilan baik dalam peristiwa ini maupun terhadap korban dan keluarga korban Peristiwa Mei 1998 yang sudah berpuluh tahun memperjuangkan haknya yang sudah barang tentu menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya. Hal ini tidak hanya melanggar hak setiap warga negara untuk hidup aman dan bermartabat, tetapi juga menciptakan trauma berkepanjangan serta iklim ketakutan yang mendalam di masyarakat," ungkap Koalisi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us