PKS Desak Permendikbudristek Cegah Kekerasan Seksual di Kampus Dicabut

Jakarta, IDN Times - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ingin Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek), yakni Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dicabut. PKS menilai Permen ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.
"Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 ini harus dicabut dan segera direvisi dan dilengkapi. Permendikbud ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menugaskan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," kata anggota Komisi X DPR Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (8/11/2021).
1. PKS menilai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 legalkan LGBT

Fahmi mengakui maksud Mendikbudristek Nadiem Makarim membuat aturan ini baik, karena ingin menghilangkan masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus. Namun, kata dia, Permendikbud ini tidak menjangkau masalah asusila.
"Namun sayangnya peraturan ini sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran susila (asusila) yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktik perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis (atau) LGBT," ucapnya.
Diketahui, saat rapat paripurna terkait persetujuan fit and proper test Jenderal Andika Perkasa hari ini, Senin (8/11/2021), interupsi Fahmi diabaikan Ketua DPR Puan Maharani. Fahmi mengatakan interupsi yang ingin dia sampaikan saat rapat paripurna ini terkait Permendikbudristek ini.
2. PKS persoalkan Pasal 5 ayat 2 huruf L dan M

Di forum yang sama, Ketua DPP PKS, Al Muzammil Yusuf mengatakan PKS mempermasalahkan Pasal 5 ayat 2 huruf L dan M Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Dia mengatakan tidak ada sanksi kepada pelaku kekerasan seksual dalam Permendikbud ini.
"Pertanyaan tadi sederhana, kalau korban setuju bagaimana? Apakah menteri akan melarang, kita setuju segala bentuk kekerasan dalam zinah, setuju? Pertanyaan kami, apakah zinah tanpa kekerasan, sepakat sama sepakat, tidak dilarang? Apakah disetujui? Peraturan ini tidak melarang, tidak memberi sanksi," kata dia.
Bunyi Pasal 5 ayat 2 huruf L dan M aturan ini, sebagai berikut:
Pasal 5 ayat 2
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Huruf L
Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
Huruf M
Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
3. PP Muhammadiyah juga minta Permendikbudristek ini dicabut

Sebelumnya, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah juga meminta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dicabut. Permendikbud tersebut berisi tentang PPKS di lingkungan perguruan tinggi.
Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, mengatakan ada dua kajian yakni formil dan materiil terkait alasan dimintanya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Dari sisi formil, Permendikbudristek ini tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya, karena pihak terkait tak dilibatkan secara luas.
"Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan," ujar Lincolin dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11/2021).
Masih dari sisi formil, kata dia, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tidak tertib materi muatan. Menurutnya, ada dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang ada melampaui kewenangan.
"Pertama, Permendikbudristek 30/2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional," ucap Lincolin.
"Kedua, Permendikbudristek 30/2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan 'Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual'," sambungnya.
Dalam keterangannya, Lincolin menyebutkan lima poin masalah materiil. Berikut lima poinnya:
a. Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang
menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.
b. Perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.
c. Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen
Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap
perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
d. Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta
legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
e. Sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Pasal 19 Permen Dikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan.