Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sehari Bersama Mahout Gajah di Hutan Belantara Aceh

MAHOUT. Anggiat Sirait yang bekerja di CRU Sampoiniet bersama gajah jinaknya bernama Azis. Foto oleh Habil Razali

Oleh Habil Razali

ACEH JAYA, Indonesia — Siapa yang ingin tinggal di tengah hutan belantara? Tidak ada jaringan telepon dan hanya berteman dengan satwa. Meski sulit, namun inilah pilihan yang harus diterima Anggiat Sirait saat menjadi mahout di CRU Sampoiniet.

Pertengahan Maret lalu, Rappler menengok keseharian mahout di CRU yang terletak di tengah hutan belantara Ulu Masen, Kabupaten Aceh Jaya ini.

Hujan gerimis nyaris tidak pernah henti saat saya dan Junaidi Hanafiah meluncur dari Kota Banda Aceh, ibukota Provinsi Aceh, menuju Kabupaten Aceh Jaya. Perjalanan sejauh 148 kilometer itu butuh waktu tempuh tiga jam berkendara sepeda motor.

Hujan yang turun dari siang, membuat kami terpaksa melanjutkan perjalanan pada sore hari. Meski masih gerimis pada sore hari, kami terpaksa melakukan perjalanan agar tiba di sana sebelum hari menjadi gelap. Tujuan kami: CRU Sampoiniet.

Untuk menuju ke Conservation Response Unit (CRU) Sampoiniet —sebagai tempat pelatihan dan penempatan gajah jinak— kami harus memasuki jalanan desa sepanjang 25 kilometer dari jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh. CRU Sampoiniet berada di tengah kawasan hutan lindung Ulu Masen.

Dusun Sarah Deu, Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet adalah kawasan permukiman penduduk terakhir sebelum memasuki areal perkebunan dan hutan lindung. Kami tiba di desa itu pukul 19:05 WIB, saat kumandang azan Magrib terdengar dari pengeras suara di masjid dan meunasah.

Suasana nyaris gelap ketika dua sepeda motor kami memasuki jalanan di areal perkebunan. Hanya sorotan lampu motor yang memecah kegelapan. Gerimis masih turun. Jalanan becek. Di beberapa titik genangan air hujan di jalanan membuat kami kewalahan.

Lima menit di jalanan berlumpur —jalur warga menuju ladangnya— kami masih terasa aman. Namun, kami sempat terkejut saat dua ekor babi hutan berukuran besar melintas di depan. Untungnya, kami tidak diganggu dan perjalanan dilanjutkan.

Usai menemuh perjalanan melelahkan, kami disambut oleh sebuah gapura. Pertanda kami sudah tiba di CRU Sampoiniet. Di teras sebuah bangunan, beberapa pria duduk dan mengelilingi sebuah meja. Mereka memandang tajam saat kami berhenti tepat di depan bangunan.

"Piyoh (singgah)," kata satu di antara mereka. Kami berjalan memasuki teras. Di langit-langit teras bangunan itu, hanya terpasang tiga lampu penerang ukuran kecil. Cahaya yang dihasilkan tidak terlalu terang. Sumber energi untuk menerangi bangunan basecamp CRU itu berasal dari tenaga surya.

"Malam ini cahaya lampunya tidak terlalu terang, karena tadi siang cahaya matahari tidak terlalu terik," kata seseorang di antara mereka. Kami nimbrung dan duduk di sebuah kursi panjang bersama mereka. Segelas kopi panas dihidangkan.

Meski di tengah hutan, suasana tampak ramai. Belakangan saya tahu, sebagian dari mereka adalah mahasiswa di Banda Aceh yang sedang berlibur ke sana.

Sejak didirikan pada tahun 2008, CRU Sampoiniet selain berfungsi sebagai tempat pelatihan dan penempatan gajah jinak, juga menjadi tampat ekowisata gajah. Tak jarang, selain mahasiswa dan wisatawan lokal, sejumlah bule pun sempat menginap di sana.

Sekira 30 menit berbincang, mereka kemudian pamit hendak turun ke desa. "Kami turun ke desa dulu ya, sekalian mau cari sinyal handphone," kata Agung, mahasiswa kedokteran di Banda Aceh.

Di basecamp CRU memang tidak ada sinyal telepon seluler. Malam itu, merupakan malam ke-dua bagi Agung menginap di basecamp. Tampaknya, dia ingin mengabari kepada keluarganya di Banda Aceh.

Hujan telah berhenti. Di basecamp, tinggal saya, Junaidi Hanafiah, dan seorang mahout gajah, Anggiat Sirait. "Kalian ingin makan?" kata Anggiat sembari bangun dari tempat duduknya. "Ada apa di belakang? Masak apa?" jawab Junaidi Hanafiah. Keduanya pun berjalan ke dapur di bagian belakang bangunan basecamp.

Malam itu, Anggiat menggoreng mata sapi sebagai lauk nasi. Tidak ada pilihan lain. "Ikan sarden ada di atas meja kalau mau," ujar dia. Sarden dan gorengan telur adalah lauk spesial di sana.

Sesekali, kalau cuaca bagus, penghuni basecamp —berjumlah 12 orang, terdiri dari mahout, asisten mahout, ranger— akan menangkap ikan di sungai Ie Jeureungeh di belakang basecamp.

Kami kembali duduk di bagian teras. Kami melahap habis makan malam itu dengan tangan. Nasi panas tidak terasa sama sekali. Cuaca sangat dingin. Air minum biasa, seperti baru saja diambil dari kulkas, dingin.

Di luar, suara hewan liar terdengar bersahutan. Usai makan, kami kembali duduk di kursi dan melingkari meja yang sama. Malam itu, tidak banyak yang bisa kami lakukan, selain duduk berbincang tentang konservasi. Setelahnya, kami tidur di sebuah kamar basecamp.

Bertemu gajah jinak

Pagi muncul. Kami terbangun saat matahari terbit sepenggalah. Suara burung dan hewan liar terdengar bersahutan dari arah hutan. Anggiat berjalan dari tempat tinggalnya —di sebuah rumah beton berjarak selemparan batu dari basecamp— menuju teras basecamp.

Rumah yang ditempati Anggiat dibangun khusus untuk mahout. Sedangkan asisten mahout dan ranger tinggal dan tidur di basecamp CRU.

Seusai basa-basi sejenak dengan kami, dia berjalan ke arah gajah yang dirantai dalam sebuah pagar listrik. "Pagar ini tujuannya untuk mengawinkan gajah. Listrik dari pagar ini sangat aman untuk gajah, tidak terlalu bahaya. Namun kalau terkena manusia bisa kebas seminggu," Anggiat menjelaskan.

Di CRU Sampoiniet terdapat empat orang mahout. Setiap mahout di sana memiliki gajah jinaknya masing-masing. Gajah jinak milik Anggiat bernama Azis, berkelamin jantan. Azis merupakan gajah paling besar dan paling tua dibandingkan dengan tiga ekor gajah lainnya.

Namun, dalam pagar tersebut hanya terdapat tiga ekor gajah saja. Sedangkan Azis, gajah Anggiat dirantai di tengah hutan. Anggiat mengatakan Azis sengaja dirantai di sana agar menjadi penghalang jika gajah liar tiba-tiba datang ke arah perkebunan warga.

Konflik gajah liar dengan manusia telah terjadi di kawasan Sampoiniet sejak beberapa tahun lalu. Hingga dibangunnya CRU, gajah liar masih saja turun ke kawasan perkebunan penduduk.

Pagar listrik hanya dinyalakan pada sore hingga sepanjang malam. Biasanya, kata Anggiat, gajah akan mulai masa perkawinannya pada jam tersebut. Namun, pagi itu, dia tidak ingin mematikan dulu arus listrik pagar. "Saya ingin jemput Azis dulu di tengah hutan, biar barengan dimandikan," kata Anggiat.

Sekitar 30 menit kemudian, Azis muncul dari arah hutan. Dia berjalan dengan gagah. Di atas badan Azis yang tinggi sekitar 2,5 meter, tepat di pundaknya, Anggiat duduk. Kedua kaki Anggiat sesekali menekan bagian belakang daun telinga Azis yang besar. Di leher Azis, rantai terlilit agak longgar. Sisa rantai yang panjang itu ditarik oleh Azis menggunakan belalainya. Azis berdiri di samping pagar listrik.

Secara bersamaan, arus listrik untuk pagar dimatikan. Setelahnya, tiga asisten mahout membuka gerbang pagar yang terbuat dari tali. Tiga gajah jinak di dalam sana pun dibawa keluar.

Dari tiga gajah jinak itu, dua betina dan satu jantan. Masing-masing asisten mahout menaiki dan duduk di pundak gajahnya. Gajah jinak itu paham  betul isyarat dan teriakan dari orang yang memerintahnya.

Anggiat dan Azis berjalan di depan. Tiga lainnya mengekor di belakang. Tujuannya ke sungai di belakang basecamp CRU. Mereka ingin memandikan gajah tersebut agar bersih dari kutu dan serangga lainnya yang berpenyakit di kulit gajah. "Memandikan gajah rutin dilakukan setiap pagi," kata Anggiat.

Setiba di sungai, gajah diperintahkan untuk duduk di dasar sungai. Dengan cepat, asisten mahout menyikat merata di bagian tubuh gajah. Mereka juga menyuruh gajah menyemprotkan air menggunakan belalai ke arah belakang tubuhnya. Setelahnya, mereka kembali membawa gajah ke basecamp untuk diberikan makan.

Pakan gajah di sana adalah pelepah daun kelapa. Pelepah itu biasanya disiapkan sekali dalam sepekan. Stoknya telah diperhitungkan dengan jadwal makan tiga kali sehari. Namun, tidak selamanya gajah diberi pelepah kelapa. Jika sedang berada di tengah hutan, gajah akan memakan sendiri dedaunan ataupun rumput.

Hari itu, mahout gajah di CRU hanya ada Anggiat. Tiga mahout lainnya mengambil cuti dan pulang ke kampung. Sebagai gantinya, gajah mereka dijaga oleh asisten mahout. Dalam setiap bulan, semua petugas CRU — termasuk mahout—mendapat jatah cuti selama 10 hari. "Cutinya bergantian," kata Anggiat di teras basecamp.

Setelah makan, gajah diajak berpatroli di hutan. Anggiat menjelaskan ada dua jenis patroli gajah: patroli kawasan dan konflik. Patroli kawasan dilakukan dua kali dalam setiap pekan pada hari Selasa dan Kamis.

Biasanya, patroli ini membuka jalur baru dan melihat tempat-tempat yang belum pernah dijajaki sebelumnya. "Ya di sekitar hutan kawasan CRU saja," kata Anggiat.

Sedangkan patroli konflik, biasanya dilakukan saat gajah liar mulai turun ke kawasan perkebunan warga. Nah, tugas gajah jinak adalah menggiring kembali kawanan gajah liar ke tengah hutan.

"Gangguan gajah liar yang baru saja terjadi di Krueng Ayoen, dan Kecamatan Lamno," kata Anggiat. Jika sudah melakukan patroli ini, mahout harus siap betul menghadapi segala risiko yang terjadi. Termasuk, jika gajah liar menyerang ke arah mereka.

"Ingin atraksi dengan gajah"

Meski tinggal di tengah hutan, Anggiat sangat menikmati pekerjaannya menjadi mahout. Saat Rappler berkunjung ke sana, pria berbadan gempal ini mengaku sudah tiga bulan belum pulang ke kampung halamannya di Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Padahal, tiga bulan lalu dia pulang sebentar hanya untuk menikahi seorang kekasihnya.

"Terakhir pulang pas menikah, sekarang belum pulang-pulang. Sedang menunggu gaji cair, kemarin sudah saya cek rekeningnya, tapi belum cair," kata pria akrab disapa Anggi.

Di Besitang, Sumatera Utara, Anggi tinggal di dekat CRU Pante Buaya. Bapaknya juga seorang mahout di CRU itu. Pria berusia 31 tahun itu menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Sekolah Teknik Menengah (STM) Besitang pada tahun 2007.

Karena tidak berniat melanjutkan kuliah, Anggi memutuskan berangkat ke Kota Medan. Di sana, dia bekerja sebagai kernet angkutan umum selama dua bulan. Bukan mendapat kesejahteraan, Anggi memilih berhenti jadi kernet. 

"Tidak sanggup karena kurang pas dengan sopir, gajinya juga tidak jelas," cerita Anggi. Dua bulan di Kota Medan, Anggi pulang ke Besitang. Dia kemudian mengikuti bapaknya. Namun bukan sebagai mahout seperti sang bapak, dia berjualan asongan di setiap pertunjukan atraksi gajah jinak.

"Melihat itulah saya mulai tertarik sekali ingin menjadi mahout. Saya sempat minta sama bapak untuk diajarkan bagaimana caranya menjadi mahout," lanjutnya. Sang bapak menolak mentah-mentah keinginan Anggi. Malahan bapak menyuruh dia berkerja di pabrik sawit milik saudaranya. "Saya tetap tidak mau."

Pada suatu malam tahun 2007, Anggi tahu betul bapaknya ingin pergi ke Saree, Aceh, menggunakan truk. Dengan cara sembunyi-sembunyi, Anggi mengemaskan pakaian ke dalam karung beras. Kemudian, dia menyusup di belakang truk yang kosong dan tertutup terpal.

Saat berangkat, bapaknya sebagai sopir dan seorang temannya di depan. Keduanya tidak pernah mengecek bagian belakang truk. Perjalanan dari Besitang menuju Saree sangat lama. "Berangkat malam, pagi baru sampai di Saree," kata Anggi.

Sepanjang perjalanan, Anggia tidur. Setiba di Saree, bapak dan temannya terkejut melihat Anggi yang tengah turun dari truk. "Bapak mau tidak tahu mau ngomong apalagi, karena sudah sampai di situ," tutur dia.

Saree, berada dalam wilayah Kabupaten Acer Besar, Aceh. Di sana terdapat Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree.  Semua gajah jinak, sebelum dibawa ke CRU terlebih dulu dilatih di Saree. "Karena saya ngotot mau menjadi mahout, maka diterimalah saya berkerja sebagai tukang bersih-bersih di PLG Saree."

Tugas sebagai tukang bersih-bersih, kata Anggi, merupakan tahap awal untuk menjadi mahout. Berselang dua minggu dirinya berada di PLG Saree, seekor anak gajah liar didatangkan dari Subulussalam. Namanya Azis. Petugas di PLG Saree langsung meminta Anggi untuk praktek belajar menjadi mahout —memberi makanan, memahami apa yang gajah suka— pada Azis.

"Saya saat itu memang tidak ada uang, saya hanya minta uang rokok, dikasihlah Rp 250 ribu per bulan," kata Anggi. Dalam masa penjinakan, Azis termasuk cepat menangkap semua yang diajarkan oleh mahout. "Dua tahun langsung bisa nangkap, maka dia dipindahkan ke CRU Sampoiniet."

Dengan dipindahkannya Azis ke CRU Sampoiniet, Anggi juga ikut ke sana untuk menjadi mahout Azis.

Di CRU Sampoiniet, Azis sudah mendapat tugas berat, yaitu menghalau gajah liar yang memasuki dalam kawasan perkebunan warga. Pada tahun 2011, Anggi sempat terpisah dari Azis saat mengatasi kawanan gajah liar dengan ukuran lebih besar dari dia. Gajah liar menyerang dengam tiba-tiba.

"Saat itu, Azis berkelahi dengan kawanan gajah liar saat pengusiran. Saya yang berada di atas Azis jatuh ketika gajah liar menghantam bagian depan Azis," kata Anggi. "Ketika menahan hantaman gajah liar di gading, saya lari. Teman-teman mahout di lain di belakang berusaha membantu dengan menyalakan suara mercon."

Saat mercon meletus, kawanan gajah liar lari. Azis juga ikutan berlari ke arah hutan. Sepekan Azis hilang. "Saya sempat kehilangan harapan untuk menemukan Azis kembali. Saya minta didoakan agar Azis kembali ke basecamp CRU," ujar Anggi. "Satu hari saya enggak makan gara-gara kehilangan dia (Azis)."

Sepekan kemudian, ada laporan warga berkebun yang melihat Azis di hutan. Dia terpisah dari kawanan gajah liar, dan gampang ditandai karena ada tali penanda di bagian lehernya. "Karena ada warga yang melihat si Azis di hutan, saya jemputlah. Dia seperti menunggu saya," kata Anggi sambil tersenyum bahagia.

Setelah kejadian itu, Anggi tidak ingin ceroboh lagi saat menghadapi kawanan gajah liar yang mungkin saja tiba-tiba menyerang.

Lantas, apa tujuan Anggi ingin menjadi mahout? "Sebenarnya ingin ikut atraksi dengan gajah, karena dilihat oleh cewek-cewek cantik. Tapi sampai sekarang belum pernah beratraksi," katanya sambil tertawa lepas.

Solusi hadapi konflik satwa liar

Pasca bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 dan terciptanya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-Republik Indonesia pada tahun 2005, perambahan hutan lindung di Provinsi Aceh semakin sering terjadi. Ilegal logging dan pertambangan adalah dua hal yang menjadi ancaman terhadap berkurangnya areal hutan.

Penebangan kayu secara ilegal dilakukan di hutan lindung Ulu Masen. Kayu-kayu tersebut saat itu digunakan untuk material pembangunan konstruksi pada masa rekonstruksi usai tsunami.

Hampir diseluruh kabupaten/kota di Aceh, hutannya tergerus. Data Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, sejak 2006-2013, rata-rata kerusakan hutan di Aceh mencapai 32.000 hektare setiap tahun.

Akibatnya, konflik satwa liar tak dapat dihindarkan karena habitat aslinya terus diusik. Kawanan gajah liar di kawasan hutan lindung Ulu Masen, Kabupaten Aceh Jaya, turun ke wilayah perkebunan warga. Korban tidak bisa dihindari dari masyarakat dan gajah terbunuh: dengan perangkap ataupun diracun.

Tingginya konflik manusia dengan gajah liar membuat Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Dinas Kehutanan Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupaten di Aceh, dibantu oleh Fauna and Flora International (FFI) Program Aceh, sepakat mendirikan Conservation Response Unit (CRU).

Lokasinya dipilihlah di perbatasan perkebunan warga dan hutan lindung Ulu Masen di Dusun Sarah Deu, Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. CRU Sampoiniet resmi berdiri Juli 2008. Empat individu gajah jinak dari Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar, didatangkan ke CRU. CRU Sampoiniet adalah CRU pertama dibangun di Provinsi Aceh.

Penggiringan gajah liar dari perkebunan warga pun mulai dilakukan. Bahkan, warga setempat juga dilatih oleh FFI menjadi ranger. Namun, masalah kemudian muncul pada tahun 2012.

Ketika satu individu gajah liar ditemukan mati terbunuh di Kecamatan Sampoiniet. Konflik antara masyarakat dengan tim CRU muncul. Kondisi yang tidak kondusif, saat itu pihak BKSDA memutuskan memulangkan gajah jinak dan mahout kembali ke PLG Saree.

"Karena ada masyarakat yang bunuh gajah liar, mereka kemudian ditangkap. Menurut masyarakat, orang CRU yang menjadi pelapor mereka agar ditangkap. Maka mereka meminta CRU ditutup," kata Anggi.

Saat gajah dikembalikan ke PLG Saree,  aktivitas di CRUrhenti. Bukannya membaik, namun membuat konflik gajah dengan masyarakat pun kembali terjadi.

Masyarakat tidak bisa berkebun karena tim yang melakukan penggiringan sudah tidak ada. Akhirnya, pada 28 Maret 2016, CRU Sampoiniet kembali diaktifkan dan empat individu gajah kembali ditempatkan di pinggir hutan Ulu Masen itu.

Saat dibuka kembali, selain menangani konflik satwa, CRU juga berfungsi sebagai lokasi ekowisata gajah. "Agar perekonomian masyarakat juga hidup jika ada wisatawan, dan orang lokal juga dipakai untuk asisten mahout dan ranger," ujar Anggi.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan jumlah Conservation Response Unit (CRU) di Provinsi Aceh sebanyak tujuh unit yang tersebar di tujuh kabupaten berbeda. Setiap CRU memiliki empat ekor gajah jinak, kecuali CRU Bener Meriah yang hanya terdapat tiga ekor.

Semua CRU, kata Sapto, dikelola oleh BKSDA Aceh dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta dibantu sejumlah pihak lainnya. Ketujuh CRU itu adalah CRU Mane di Kabupaten Pidie, CRU Sampoiniet di Aceh Jaya, CRU Cot Girek di Aceh Utara, CRU DAS Peusangan di Bireuen, CRU Serba Jadi di Aceh Timur, CRU Trumon di Aceh Selatan, dan CRU Bener Meriah.

Pulang kampung

Hari itu, ada sejumlah wisatawan dari Banda Aceh yang berkunjung ke CRU Sampoiniet. Anggi sudah selesai memberikan pakan gajah. Sekitar pukul 14:00 WIB, dia mengeluarkan gajah dari pagar listrik.

"Wisatawan ingin pergi ke kolam air terjun Geureudong. Mereka ingin naik gajah ke sana," kata Anggi sambil berjalan ke arah Azis, gajahnya.

Perjalanan ke sana butuh waktu 30 menit. Saat sore tiba, ketika suasana sudah mulai gelap, mereka kembali pulang naik gajah. Malam menjelang, lampu tenaga surya dihidupkan. Anggi memasak makan malam di dapur bagian belakang CRU. Junaidi Hanafiah yang duduk di bagian teras basecamp mengisap rokoknya dalam-dalam.

Saat makan malam, Anggi mengaku ingin pulang ke Medan, kampung halamannya. Dia pulang terakhir kalinya tiga bulan lalu, dia menikah dengan gadis di sana. Sepekan setelahnya, dia kembali ke Sampoiniet.

"Sekarang palingan telepon, nanyain kabar. Tunggu gajian dulu, kalau sudah cair, dalam dua hari ke depan langsung pulang," kata Anggi. Asap rokok Junaidi sesekali berembus ke wajah Anggi. Meski tidak merokok, dia tidak merasa terganggu.

Besok paginya, saya dan Junaidi kembali ke Banda Aceh. "Jika ke Banda, kabari ya, kita minum kopi," kata Junaidi kepada Anggiat.

Sepekan di Banda Aceh, pada 1 April lalu, saya mengetahui Anggi sudah pulang ke kampungnya. Di halaman beranda Facebook, foto Anggiat dengan istrinya terpampang dan baru saja diunggah. "Akhirnya pulang kampung," komentar saya dan tidak dibalas olehnya. 

—Rappler.com

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us