Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Syarief Hasan: Partai Demokrat Tolak RUU Cipta Kerja Disahkan

IDN Times/Debbie Sutrisno

Jakarta, IDN Times - Politikus Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengaku tak setuju dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja.

"Dan bila RUU ini akan disahkan oleh Paripurna DPR, maka Partai Demokrat pasti menolak atau minta untuk ditunda," kata Syarief Hasan di Jakarta seperti dilansir melalui ANTARA, Minggu (4/10/2020).

Dia menyayangkan bahwa ada aspirasi masyarakat yang tidak terserap oleh pemerintah dalam draft RU itu.

1. Aturan soal pesangon justru makin tidak jelas

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Indonesia tersebut juga mengatakan bahwa banyak muatan dalam RUU Omnibus Law yang ditolak elemen masyarakat di Indonesia, karena dinilai tidak pro pada rakyat.

Salah satunya seperti aturan pesangon yang semakin menurun kualitasnya dan tanpa kepastian hukum yang jelas.

“RUU ini akan semakin mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK karena uang pesangonnya lebih kecil," kata Syarief.

2. JKP dianggap banyak menyerap APBN

Wakil Ketua MPR RI, Syarif Hasan. IDN Times/Irfan Fathurohman

Pemerintah dan DPR RI juga sudah bersepakat untuk memasukkan skema baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law guna menyelesaikan permasalahan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dianggap merugikan pekerja.

JKP yang menggunakan skema asuransi itu dinilai bakal cukup  menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain mengharuskan pemerintah memberi dana kas atau data tunai per bulan pada pekerja PHK, aturan terkait JKP juga mengharuskan pemerintah menyiapkan pendidikan dan pelatihan (diklat) pekerja guna meningkatkan kemampuan dan kapasitas para pekerja. Selain itu juga perlu memberi informasi pekerjaan atau menyalurkan pekerja kepada pekerjaan baru.

"Aturan baru ini malah tidak implementatif, kontraproduktif, dan tidak pro-rakyat," ujar Syarief.

3. Akan ada ketentuan upah minimum yang hilang

Pekerja di Tangerang, Banten (ANTARA FOTO/Fauzan)

Syarief juga menjelaskan bahwa akan ada ketentuan upah minimum yang hilang jika RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, yakni ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

"Sebab, Pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). UMP di hampir semua Provinsi lebih kecil dibandingkan UMK Kabupatennya, kecuali di DKI Jakarta. Akibatnya, upah buruh menjadi semakin kecil dan tidak layak. RUU ini menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap buruh, karyawan, dan rakyat kecil," ujar Syarief.

Namun, pada 28 September 2020, DPR dan Pemerintah hanya bersepakat untuk menghilangkan ketentuan terkait upah minimum sektoral, serta tetap mempertahankan ketentuan terkait UMP atau UMK.

Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi pada saat itu, sepakat dengan keputusan mempertahankan Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten/Kota.

"Pemerintah menyampaikan dua bentuk upah minimum sebagai safety net, yang pertama adalah upah minimum provinsi, kedua adalah upah minimum kabupaten/kota sesuai dengan persyaratan yang kami ajukan," kata Elen dalam rapat Panja RUU Cipta Kerja kala itu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Dwifantya Aquina
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us