Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tanah Sumatra Kian Tergerus, Berapa Luas Area Tambang dan Kebun Sawit?

Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)
Intinya sih...
  • Sumatra Utara mengalami penyusutan area hijau
  • Banyak wilayah yang mengalami deforestasi dan eksploitasi
  • Peralihan tanaman ke kelapa sawit dapat mengubah karakter ekologis
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, membuka mata publik terkait kedaruratan wilayah hijau di tiga kawasan tersebut. Eksploitasi secara masif, membuat sejumlah area hijau menjadi terdesak.

IDN Times menelusuri sejarah dari penyempitan area hijau dan vegetasi di Sumatra. Ternyata, luasan area hijau dan vegetasi di Sumatra terus terkikis. Penyebabnya adalah perluasan perkebunan sawit hingga pertambangan.

Ditelusuri melalui Mapbiomas, pada 1990, luas hutan di Sumatra mencapai 17.934.735 hektare. Kemudian, ada hutan mangrove yang luasnya mencapai 622.662 hektare di periode yang sama. Sementara, hutan rawa serta vegetasi lain, luasannya jika dijumlah mencapai 9.261.424 hektare pada 1990.

Angka ini terkikis dalam kurun waktu 24 tahun. Luasan hutan di Sumatra per 2024, cuma 12.685.507 hektare. Ada penambahan luas di kawasan mangrove, tapi kecil karena cuma 635.018 hektare. Sementara, area vegetasi lain dan hutan rawa, luasnya tinggal 5.455.746 hektare. Secara total, luasan hutan di Sumatra per 2024 tinggal 31 persen.

Pada 2024, luas dari area perkebunan sawit di Sumatra mencapai 10.311.941 hektare. Sementara, ada 1.748.432 hektare perkebunan kayu kertas. Lalu, sekitar 145.892 hektare merupakan area pertambangan.

Dibandingkan 24 tahun lalu, luasan dari perkebunan sawit dan tambang di Sumatra masih begitu kecil. Pada 1990, tercatat hanya 1.079.077 hektare kebun sawit di Sumatra. Kemudian, cuma ada 32.037 hektare wilayah tambang.

Artinya, wilayah pertambangan semakin luas hingga nyaris lima kali lipat. Lalu, perkebunan sawit perluasannya nyaris 10 kali lipat.

1. Sumatra Utara juga makin kecil hutannya

Infografis Bencana Sumatra
Infografis Bencana Sumatra (IDN Times/Sukma Shakti)

Berbicara Sumatra Utara berdasarkan data pada 2024, area hijaunya seluas 2.527.275 hektare, dengan 97,5 persen di antaranya merupakan hutan. Selain itu, ada juga area vegetasi lain seluas 544.963 hektare dan mangrove 55.094 hektare. Sementara, luas sungai, danau, hingga laut mencapai 148.433 hektare.

Kemudian, wilayah non-vegetasi yang didiami penduduk sebesar 197.639 hektare dari 208.648 hektare. Dari data yang didapat, sebesar 420 hektare merupakan area pertambangan.

Luasan pertanian dan perkebunan di Sumatra Utara saat ini tercatat 3.807.756 hektare. Komposisinya, 2.115.976 hektare area kebun sawit, lalu 1.213.595 hektare pertanian lain, 395.543 hektare lahan sawah padi, dan 82.641 merupakan pertanian kayu kertas.

Dibandingkan dengan 10 tahun lalu, perkembangan luasan lahan tambang dan kelapa sawit menjadi yang paling besar pertumbuhannya. Di 2014, luasan tambang di Sumatra Utara mencapai 156 hektare. Sementara, pada 2024 menyentuh 420 hektare, dan itu mencapai nyaris tiga kali lipat perkembangannya. Jika membandingkan area-area lain, maka luas hutan Sumatra Utara di 2024 tersisa 34,9 persen.

2. Makin banyak hutan yang botak

Mari kita lihat lebih detail di kawasan yang terdampak banjir bandang Sumatra Utara, melalui rekam jejak hingga 15 tahun terakhir melalui citra satelit Google Earth yang menunjukkan adanya perbedaan begitu besar di sejumlah kawasan. Di sekitar Muara Sibuntuon, Sibabangun, Tapanuli Tengah, terlihat perbedaan luasan wilayah vegetasi.

Pada 30 Desember 2020, belum terlihat adanya kebotakan di wilayah seluas 156.549 meter persegi yang muncul dalam gambar-gambar di bawah. Tapi, per 1 Desember 2025, luasan tersebut sudah terlihat gundul dari citra satelit.

Kemudian, di wilayah Batang Toru, dekat kawasan hutan lindung, ada perbedaan besar yang tercipta selama 15 tahun. Sebuah wilayah seluas 1.168,31 hektare, pada 12 Desember 2010 masih didominasi area vegetasi. Namun, per 1 Desember 2025, wilayah tersebut sudah botak dan dieksploitasi sebuah perusahaan.

Bergeser ke wilayah Tapanuli Selatan, di dekat air terjun Lubuk Harapan, ada wilayah vegetasi yang kehilangan 47,62 hektare area hijaunya, ditinjau dari citra satelit per 1 Desember 2025. Padahal, pada 25 Juni 2020, area tersebut terlihat masih dipenuhi pepohonan. Area hijau yang hilang ini setara nyaris lima kali luas Stadion Utama Gelora Bung Karno.

3. Peralihan tanaman ke kelapa sawit bisa ubah karakter ekologis

Infografis Bencana Sumatra
Infografis Bencana Sumatra (IDN Times/Sukma Shakti)

Secara spesifik melihat formasi lahan di Tapanuli Tengah, perluasan paling signifikan terjadi pada area perkebunan kelapa sawit. Pada 2014, luasan kelapa sawit di Tapanuli Tengah baru 35.089 hektare. Tapi, 10 tahun kemudian sudah mencapai 45.390 hektare. Perluasan wilayah kelapa sawit sudah terlihat sejak 1995. Areanya terus meningkat setiap tahunnya, hingga 2024 lalu.

Hal serupa juga terjadi di Tapanuli Selatan. Wilayah perkebunan sawit meluas dalam kurun waktu 10 tahun, sejak 2014 hingga 2024. Perluasan kelapa sawit di 2014 baru mencapai 35.687 hektare dan 10 tahun kemudian meningkat menjadi 44.761 hektare. Area pertambangan di Tapanuli Selatan juga meluas, dari 131 hektare pada 2014 meluas hingga 323 hektare 10 tahun kemudian atau 2,5 kali lipatnya.

Perluasan perkebunan kelapa sawit mampu mengubah sifat ekologi dari tanah yang awalnya merupakan hutan dengan tumbuhan asli. Sebab, karakteristik tanaman kelapa sawit jauh berbeda. Akar kelapa sawit tak bersifat mengikat dan cenderung rendah, tidak mampu masuk terlalu dalam. Selain itu, tanaman kelapa sawit juga sifatnya merupakan produktif, bukan untuk konservasi.

"Sebenarnya tanaman punya karakteristik berbeda. Di kota ada perdu bisa menyerap polutan. Setiap jenis tanaman punya karakter masing-masing, secara input maupun output. Pohon sawit akarnya berbeda dengan yang rimbun," ujar Ahli Pengelolaan Bencana dan Pembangunan Wilayah Perkotaan sekaligus Dosen Graduate School of Sustainable Development, Irene Sondang Fitrinitia, kepada IDN Times.

"Ini berkaitan dengan fungsinya, ketika pohon sawit berbeda dengan yang rimbun. Pohon yang rimbun mengikat tanah dengan maksimal, tidak dengan sawit. Ketika pohon sawit ditanam, maka lapisan tanah menjadi lebih gembur, dan dengan gangguan eksternal seperti hujan, maka ekosistem aslinya bisa terganggu, termasuk fungsi dalam pengikatan tanah. Jika (wilayah perkebunan sawit) terus meluas, konsekuensi logisnya ya mudah longsor di sekitarnya," lanjut Irene.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us

Latest in News

See More

Warga yang Menjarah Minimarket Pasca-Bencana Sumatra Dibebaskan

03 Des 2025, 14:50 WIBNews