UU Terorisme Masih Mengabaikan Korban, Ini Kritik dari AIDA

Jakarta, IDN Times- Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mengkritisi Undang-Undang (UU) nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme yang masih abai terhadap penderitaan korban. Aturan tersebut memang mengatur kompensasi sebagai mekansime ganti rugi namun penerapannya masih sangat rumit.
“Kompensasi ini hak korban terorisme yang paling tua dan kompleks. Paling tua karena ini hak pertama diakui negara, sudah ada dalam UU no 15 Tahun 2003. Tapi, ini paling kompleks karena baru bisa diimplementasikan tahun 2018. Karenanya masih banyak kekurangan-kekurangan,” kata Hasibullah Satrawi selaku Direktur AIDA di Jakarta Pusat.
1. Korban baru mendapat kompensasi setelah putusan pengadilan

Perkara awal yang dipersoalkan AIDA adalah kapan korban mendapat hak kompensasinya. Selama ini, korban baru mendapat kompensasi setelah putusan pengadilan. Padahal, sejak korban menderita luka akibat serangan terorisme, sudah sepatutnya mereka mendapat kompensasi.
“Kalau semua kompensasi diberikan setelah putusan pengadilan, bagaimana dengan korban bom-bom lama yang mungkin sudah tidak ada lagi pengadilannya, seperti bom Bali, Kuningan, Thamrin. Oleh karena itu, kami mendorong supaya kompensasi bisa diberikan tanpa putusan pengadilan,” tambah lelaki yang karib disapa Hasbi itu.
2. Nominalnya masih belum jelas

Selain itu, Hasbi juga mendorong supaya Paraturan Pemerintah (PP) dari UU No. 5 Tahun 2018, sebagai aturan turunan dari pemberian kompenasasi, segera diterbitkan. Sebab, undang-undang terorisme belum mengatur tentang besaran kompensasi yang diberikan kepada korban.
“Nominal tentu hal yang sensitif karena LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) perlu validasi data korban. Oleh karena itu, LPSK membutuhkan UU turunan. Pada prinsipnya, LPSK, BNPT, dan Kemenkeu harus betul-betul bisa memastikan siapa mengalami kerugian apa,” beber dia.
3. Memastikan supaya pemberian kompensasi tidak lebih dari 3 tahun

Peraturan Pemerintah penting supaya negara tidak terlambat dalam memberikan kompensasi kepada korban. Sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018, limit pemberian kompensasi adalah tiga tahun.
“Kalau berlarut-larut, kami khawatir malah memperpanjang ketidakdilan kepada para korban. Karena itu kompensasi sebagai ganti rugi harus segera diberikan karena. PP ini menjadi kunci bagi pemenuhnan kompensasi,” jelas Hasbi.
4. Hak kompensasi dibedakan dari hak medis

AIDA juga mendorong supaya pemerintah memisahkan antara hak medis dengan hak kompensasi. Hasbi khawatir nantinya korban hanya diberikan uang kompensasi tanpa kalkulasi kebutuhan medis.
Hasbi menyampaikan, “kalau misalnya negara memberikan Rp500 juta tapi biaya pengoabatannya lebih dari itu, namanya negara yang untung itu.”
“Salah satu ciri khas korban terorisme adalah derita yang berkepanjangan. Contohnya, korban bom Kuningan 2004 sampai hari ini masih ada yang berobat bahkan membutuhkan operasi. Para korban sering tidak tahu apa kebutuhannya. Nah kami khawatir kalau pemberian kompensasi ini berdampak terhadap pengurangan hak lainnya, medis misalnya,” tutupnya.