102 Pengungsi Rohingya di Lautan Diselamatkan Militer Sri Lanka

- Lebih dari 100 pengungsi Rohingya diselamatkan oleh Angkatan Laut Sri Lanka ketika hanyut di lautan menggunakan kapal nelayan di lepas pantai utara Sri Lanka.
- Angkatan Laut Sri Lanka belum dapat mengkonfirmasi apakah para pengungsi itu adalah warga Rohingya atau bukan karena adanya kendala bahasa untuk berkomunikasi, serta belum diketahui tujuan mereka sebenarnya.
- Jaksa Agung Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) meminta kepada para hakim untuk mengeluarkan surat penangkapan kepada Pemimpin Junta Myanmar, Ming Aung Hlaing, atas tindakan kejahatan yang telah dilakukan terhadap etnis Rohingya Muslim di Myanmar.
Jakarta, IDN Times - Lebih dari 100 pengungsi Rohingya dari Myanmar berhasil diselamatkan oleh Angkatan Laut Sri Lanka ketika hanyut di lautan menggunakan kapal nelayan di lepas pantai utara Sri Lanka di Mullivaikkal.
Kelompok pengungsi, termasuk 25 anak-anak dan 30 wanita, berhasil dibawa ke pelabuhan timur Sri Lanka, Trincomalee, kata juru bicara Angkatan Laut pada hari Jumat (20/12/2024). Persediaan makanan dan minuman, serta pemeriksaan medis juga disediakan oleh pihak berwenang kepada para pengungsi.
1. Kendala bahasa jadi kesulitan untuk menggali keterangan dari pengungsi
Dilansir Arab News, Angkatan Laut Sri Lanka belum dapat mengkonfirmasi apakah para pengungsi itu adalah warga Rohingya atau bukan karena adanya kendala bahasa untuk berkomunikasi, serta belum diketahui tujuan mereka sebenarnya, yang kemungkinan telah keluar jalur dari yang seharusnya. Kendala ini selanjutnya akan dibahas dengan Kedutaan Besar Myanmar untuk tindakan lebih lanjut.
Sri Lanka tercatat beberapa kali melakukan penyelamatan terhadap pengungsi Rohingya yang sedang terombang-ambing di lautan di dekat negaranya. Pada tahun 2022, penyelamatan serupa juga pernah terjadi ketika 100 pengungsi Rohingya ditemukan oleh nelayan terombang-ambing di lautan menggunakan perahu nelayan di Sri Lanka.
Langkah Sri Lanka untuk menyelamatkan para pengungsi Rohingya pada tahun 2022 mendapatkan apresiasi dari UNHCR, Badan Pengungsi PBB, sebagai bagian dari contoh kemanusiaan yang harus diikuti oleh tiap negara untuk mencegah jatuhnya korban jiwa.
2. Jaksa ICC menargetkan pemimpin Myanmar untuk ditangkap
Jaksa Agung Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) telah meminta kepada para hakim untuk mengeluarkan surat penangkapan kepada Pemimpin Junta Myanmar, Ming Aung Hlaing, atas tindakan kejahatan yang telah dilakukan terhadap etnis Rohingya Muslim di Myanmar, yang membuat hampir satu juta orang Rohingya mengungsi demi menyelamatkan diri.
Keputusan yang diambil oleh Karim Khan, Jaksa Agung Pengadilan, lantas mendapatkan respon positif dari kelompok hak asasi manusia (Human Rights Watch), yang menyebutnya sebagai langkah penting untuk memutus siklus pelanggaran dan impunitas. Selain itu, keputusan ini juga mendapatkan sambutan yang baik dari pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Sementara itu, rezim militer Myanmar dengan tegas menolak proses pengajuan yang dilakukan oleh Jaksa Agung ICC, karena Myanmar bukan berada dalam ICC dan menegaskan bahwa mereka mempraktikkan kebijakan ‘hidup berdampingan secara damai’.
Permintaan surat penangkapan tersebut saat ini sedang dalam pengajuan yang akan mempertimbangkan bukti-bukti dan memutuskan apakah surat penangkapan layak dikeluarkan.
3. Etnis Rohinghya hadapi banyak penolakan di negara lain, termasuk Indonesia
Dilansir AP News, diperkirakan hampir satu juta etnis Rohingya mengungsi di Bangladesh, memenuhi kamp-kamp pengungsian di negara tersebut. Sementara itu, sekitar 1.752 etnis Rohingya tercatat oleh UNHCR mengungsi di Indonesia selama tahun 2023.
Namun, etnis Rohingya seringkali mendapatkan penolakan dari pemerintah dan masyarakat setempat di negara lain. Bahkan, pemerintah Myanmar dan Bangladesh memandang bahwa etnis Rohingya sebagai masalah negara lain, sehingga tidak ada kejelasan status kewarganegaraan bagi etnis Rohingya.
Misalnya saja di Indonesia, yang hanya mengizinkan para pengungsi untuk mendarat di wilayah Aceh Selatan tidak lebih dari seminggu, dan penduduk setempat tidak bersedia menampung mereka karena alasan terjadinya kerusuhan dan masalah keamanan bagi penduduk setempat.
Sementara itu, penolakan dan kerusuhan juga sempat terjadi di Sri Lanka pada tahun 2017 yang dilakukan oleh para biksu Buddha dan nasionalis garis keras. Mereka memaksa para pengungsi Rohingya untuk meninggalkan penampungan PBB di ibu kota Kolombo.
Penolakan tersebut didasarkan pada sentimen antara minoritas Muslim dan mayoritas Buddha, dengan menuduh etnis Rohingya sebagai teroris dan membunuh biksu Buddha di Myanmar.