Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

8 Tahun Intervensi, Pasukan Prancis Mundur dari Timbuktu

Ilustrasi pasukan militer Prancis. (Twitter.com/ Armée de Terre)
Ilustrasi pasukan militer Prancis. (Twitter.com/ Armée de Terre)

Jakarta, IDN Times - Pasukan Prancis secara simbolis meninggalkan basis militernya di kota Timbuktu, Mali utara. Pada hari Selasa (14/12/21), bendera Prancis diturunkan di pangkalan militer itu dan bendera negara Mali dikibarkan.

Sekitar 150 tentara Prancis masih akan tetap bertahan usai pasukan mulai menarik diri dari pangkalan militer. Keputusan ini adalah langkah terbaru Prancis setelah lebih dari delapan tahun melakukan intervensi untuk membantu melawan jaringan kelompok al-Qaeda yang beroperasi di Afrika Barat, khususnya di wilayah gurun Sahel.

1. Pasukan Prancis mulai meninggalkan kota Timbuktu

Pada Selasa malam, pasukan Prancis meninggalkan kota Timbuktu. Lebih dari delapan tahun pasukan tersebut telah melakukan intervensi militer, membantu memerangi jaringan al-Qaeda yang mengancam beberapa negara di Afrika Barat.

Dilansir Associated Press, militer Mali disebut telah mulai mempertahankan kota Timbuktu, dengan sekitar 2.200 pasukan penjaga perdamaian yang secara permanen ditempatkan di kota itu. Warga kota menjelaskan bawha mereka telah melihat pasukan militer Mali pada Selasa malam telah mulai menduduki bekas pangkalan militer Prancis itu.

Di kota Timbuktu, serangan militer Prancis terhadap kelompok teroris mulai dilancarkan para tanggal 2 Februari 2013 silam. Itu adalah Operasi Serval yang secara resmi diumumkan oleh Francois Hollande yang saat itu jadi Presiden Prancis.

Mali adalah bekas koloni Prancis dan sebagai kekuatan patron, Prancis membantu negara bekas jajahannya itu untuk menahan dan mengusir kelompok teroris yang semakin mendekati Mali tengah, di pusat ibu kota.

2. Kehadiran Prancis di Mali akan dilakukan dengan cara berbeda setelah pasukannya meninggalkan Timbuktu

Operasi Serval kemudian diikuti oleh Operasi Barkhane pada tahun 2014. Dalam Operasi Barkhane, Prancis mengerahkan lebih dari 5.000 personel militer. Pasukan Prancis membantu negara-negara seperti Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania and Niger dalam memerangi kelompok teroris.

Mulai tahun 2021 ini, Prancis telah mengumumkan akan melakukan penarikan pasukannya, khususnya yang ada di wilayah Mali utara. Beberapa pangkalan militer Prancis seperti di kota Kidal dan Tessalit, telah ditinggalkan pasukan.

Pemerintah Prancis mengatakan, mereka akan menarik lebih dari 2.000 pasukannya dari gurun Sahel pada awal tahun 2022 mendatang. Mereka akan mengatur kembali strategi, memfokuskan upaya militer untuk menetralisir kelompok yang dianggap teroris, dan memperkuat tentara lokal.

Dilansir Al Jazeera, kepala kampanye militer Operasi Barkhane Prancis di Mali yang bernama Jenderal Etienne du Peyroux secara resmi menyerahkan kepemimpinan kepada komandan Mali yang bakal menggantikan di pangkalan militer Timbuktu.

Peyroux mengatakan bahwa Prancis "akan hadir dengan cara yang berbeda. Ini pada akhirnya adalah tujuan Operasi Barkhane: Untuk memungkinkan Mali memutuskan nasibnya sendiri namun tetap selalu dalam kemitraan."

3. Titik balik pasukan Prancis di Mali

Sebenarnya, dalam beberapa tahun terakhir telah muncul sentimen anti-Prancis di beberapa negara bekas jajahan kekuatan kolonial tersebut. Tapi penarikan pasukan dari pangkalan militer Mali itu menimbulkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

Ini karena, ada gejolak politik dalam negeri, di mana Kolonel Assimi Goita telah melakukan kudeta sebanyak dua kali hanya dalam waktu kurang dari setahun. Kudeta terakhir Goita itulah, yang memicu Macron mengumumkan penarikan besar-besaran pasukannya yang tergabung dalam Operasi Barkhane.

Mali dikhawatirkan jatuh ke dalam kekuasaan junta militer yang tak lagi dapat didorong menuju pemerintahan yang demokratis.

Jurnalis France24  bernama Cyril Payen yang melaporkan langsung dari ibu kota Bamako, menyebut bahwa penarikan pasukan Prancis menandai awal dan akhir misi militer. "Ini adalah titik balik yang kita tinggalkan sekarang dengan pemindahan pos terdepan Timbuktu dari tentara Prancis ke militer Mali. Ini sangat penting dalam kronologi kehadiran militer Prancis di bagian Afrika ini," jelasnya.

Selain itu, ada juga dugaan bahwa penduduk perdesaan telah mulai menerima legitimasi dari kelompok bekas jaringan al-Qaeda. Menurut penilaian pengamat, penerimaan legitimasi itu kemungkinan telah mengurangi aksi kekerasan terhadap penduduk yang terus menurun sejak tahun 2015 lalu.

4. Pasukan Prancis pergi, masalah diperkirakan akan kembali muncul

Beberapa sentimen anti-Prancis telah muncul di beberapa negara seperti Burkina Faso dan Niger. Bahkan penduduk di dua negara itu melakukan demonstrasi besar ketika konvoi pasukan Prancis sedang melintas.

Dulu, ketika pasukan Prancis mulai tiba di Mali, khususnya di Timbuktu, mereka disambut dengan kebahagiaan oleh penduduk. Itu karena pasukan tersebut akan membantu melawan jaringan al-Qaeda yang meresahkan. 

Kini ketika pasukan Prancis pergi, ada warga yang kecewa dan tidak mengerti keputusan Paris. Dilansir RFI, Al Boukhari Ben Essayouti, salah satu penduduk yang melestarikan situs sejarah dan budaya, khawatir bahwa kelompok jaringan al-Qaeda yang radikal akan menodai makam dan masjid lokal, sama seperti pada tahun 2012.

"Jika pasukan Barkhane pergi, pintu akan terbuka untuk segala macam masalah," kata Ben Essayouti. Dalam penjelasannya, sebagian besar warga Timbuktu menganut Sufisme Islam yang moderat, akan tetapi dianggap kafir kelompok jaringan al-Qaeda.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pri Saja
EditorPri Saja
Follow Us