Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ahmad al-Sharaa Jadi Presiden Transisi Suriah

ilustrasi bendera Suriah (commons.m.wikimedia.org/أبو بكر السوري)

Jakarta, IDN Times – Ahmad al-Sharaa, mantan pemimpin kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS), resmi ditunjuk sebagai presiden transisi Suriah. Keputusan ini diumumkan setelah pertemuan para pemimpin faksi pemberontak pada Rabu (29/1/2025).

Sharaa telah memimpin secara de facto sejak Desember 2024, menggantikan Bashar al-Assad yang lengser. Pemerintahan transisi dijadwalkan menyerahkan kekuasaan pada Maret 2025, meskipun caranya belum ditentukan.

1. Parlemen dan konstitusi 2012 dibatalkan

Sebagai langkah awal membangun pemerintahan baru, pemerintahan transisi membubarkan parlemen Suriah dan membentuk dewan legislatif sementara. Selain itu, aturan dasar negara yang dibuat pada 2012 dihapus untuk memungkinkan perombakan sistem politik dan militer.

Untuk memastikan keamanan, semua kelompok bersenjata diperintahkan bergabung dalam tentara nasional baru. Namun, belum ada kejelasan apakah perintah ini juga berlaku bagi HTS, kelompok yang sebelumnya dipimpin oleh Sharaa.

Dalam wawancara dengan Al Arabiya bulan lalu, Sharaa mengatakan bahwa pemilu baru kemungkinan tidak bisa segera dilakukan. Menurutnya, proses tersebut dapat memakan waktu hingga 4 tahun.

Selain itu, ia memperkirakan penulisan ulang aturan dasar negara juga akan membutuhkan waktu sekitar 3 tahun.

2. Tantangan menghadapi kelompok bersenjata

Mengintegrasikan kelompok bersenjata ke dalam satu struktur militer bukanlah tugas mudah. Beberapa kelompok, seperti Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki, memiliki pandangan yang berbeda dengan HTS, sehingga memperumit upaya penyatuan, dilansir Al Jazeera.

Di sisi lain, jatuhnya rezim Assad membuat persenjataan berat tersebar tanpa pengawasan di berbagai wilayah. Hal ini meningkatkan risiko konflik antarkelompok yang bisa mengganggu stabilitas.

Untuk mengatasi tantangan ini, Kementerian Pertahanan Suriah sedang berdiskusi dengan berbagai kelompok dalam upaya membentuk tentara nasional. Namun, perbedaan kepentingan masih menjadi hambatan utama dalam proses ini.

3. Pemerintah transisi cari dukungan internasional

Selain menghadapi tantangan internal, pemerintahan transisi juga berusaha mendapat dukungan dari negara lain. Dilansir dari The Guardian, kunjungan pertama mereka dilakukan ke Arab Saudi, disusul pertemuan dengan pejabat Turki guna membahas kerja sama politik dan ekonomi.

Negosiasi juga dilakukan dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), kelompok bersenjata yang didukung Amerika Serikat dan menguasai sebagian wilayah Suriah. SDF ingin tetap memiliki pasukan sendiri dalam struktur militer baru, tetapi permintaan ini ditolak.

Di tengah upaya diplomasi, ketegangan di lapangan terus meningkat. Bentrokan antara SDF dan SNA semakin sering terjadi di wilayah utara, menimbulkan kekhawatiran bahwa Suriah akan mengalami perpecahan seperti Libya setelah jatuhnya Muammar Qaddafi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Bagus Samudro
EditorBagus Samudro
Follow Us