AS Minta Tolong China Tekan Iran agar Tak Tutup Selat Hormuz

- AS meluncurkan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran.
- Ancaman penutupan Selat Hormuz memicu kekhawatiran global akan gangguan pasokan energi.
- Pemerintah AS mendesak China untuk mencegah Iran menutup Selat Hormuz.
Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) mendesak China menggunakan pengaruhnya untuk mencegah Iran menutup Selat Hormuz. Permintaan ini disampaikan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, pada Minggu (22/6/2025), setelah serangan udara AS ke fasilitas nuklir Iran memicu ancaman penutupan jalur energi strategis tersebut.
Ancaman muncul usai parlemen Iran menyetujui usulan menutup Selat Hormuz, yang menjadi jalur 20 persen pasokan minyak dan gas dunia. Potensi penutupan selat memicu kekhawatiran global akan gangguan pasokan energi dan eskalasi konflik.
1. Serangan AS dan respons Iran
AS meluncurkan operasi militer Operation Midnight Hammer pada Sabtu (21/6/2025), menargetkan fasilitas nuklir Iran di Isfahan, Fordow, dan Natanz. Tujuh pesawat B-2 menjatuhkan 14 bom penembus bunker, didukung puluhan rudal Tomahawk dan 125 pesawat tempur. Pejabat AS menyatakan operasi ini berhasil menghancurkan infrastruktur nuklir utama Iran.
Iran mengecam serangan itu sebagai pelanggaran hukum internasional dan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Menteri Luar Negeri Iran Seyed Abbas Aragchi menyatakan jika Iran memiliki semua opsi untuk mempertahankan kedaulatannya.
Parlemen Iran menyetujui penutupan Selat Hormuz, namun keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
“Kami memiliki berbagai opsi untuk menanggapi musuh kami, dan penutupan Selat Hormuz adalah salah satu kemungkinan,” kata anggota Komisi Keamanan Nasional Parlemen Iran, Behnam Saeedi, dikutip dari Newsweek.
2. Dampak global penutupan Selat Hormuz
Selat Hormuz yang lebarnya hanya 33 km di titik tersempit menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari—20 persen konsumsi global—melewati jalur ini pada 2024, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA). Sepertiga perdagangan LNG dunia, terutama dari Qatar, juga bergantung pada selat ini.
Goldman Sachs dan Rapidan Energy memperkirakan harga minyak bisa melampaui 100 dolar AS (Rp1,6 juta) per barel jika selat ditutup.
“Gangguan di Selat Hormuz bisa mengacaukannya lebih lama dari yang diperkirakan pasar,” ujar Bob McNally, pendiri Rapidan Energy dan mantan penasihat energi Presiden George W. Bush, dikutip dari CNBC.
Armada Kelima AS di Bahrain bertugas menjaga keamanan maritim di wilayah itu. Meski diyakini mampu menanggapi ancaman, McNally memperingatkan prosesnya tidak semudah yang diasumsikan pasar dan bisa berlangsung berminggu-minggu.
3. Desakan AS ke China dan ketegangan regional
Rubio menegaskan bahwa penutupan selat akan menjadi eskalasi besar dan bisa memicu respons militer dari AS dan sekutunya. “Saya mendorong pemerintah Tiongkok di Beijing untuk menghubungi mereka, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk pasokan minyak mereka,” ujarnya.
China, pembeli utama minyak Iran dan sekutu diplomatik Teheran, belum merespons secara resmi. Sementara itu, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran, Hossein Shariatmadari, menyerukan penutupan selat dan serangan rudal terhadap kapal AS, dilansir First Post.
Presiden AS Donald Trump menyatakan, setiap pembalasan dari Iran akan dihadapi dengan kekuatan yang jauh lebih besar. “Kami tidak sedang berperang dengan Iran, tetapi dengan program nuklirnya,” ujar Wakil Presiden JD Vance, dilansir dari Jewish Post and News.