AS Usulkan Bentuk Pasukan Palestina untuk Jaga Perbatasan Rafah

- AS akan membentuk pasukan Palestina khusus untuk menjaga perbatasan Rafah
- Gencatan senjata di Gaza terhambat oleh ketegangan antara Israel dan Palestina
- Hamas menyalahkan Israel atas mandeknya upaya gencatan senjata, memicu protes di Israel
Jakarta, IDN Times – Seorang pejabat Amerika Serikat (AS) pada Senin (2/9/2024) menyebut bahwa mereka berniat membentuk pasukan Palestina yang khusus menjaga perbatasan Rafah. Usulan ini merupakan bagian dari proposal terkahir yang diajukan oleh AS dalam waktu dekat.
”Perkembangan ini sejalan dengan kesiapan Uni Eropa untuk melanjutkan perannya dalam memantau penyeberangan Rafah bekerja sama dengan Otoritas Palestina,” lapor Washington Post, sebagaimana dilansir Al Mayadeen, Kamis (4/9/2024).
Surat kabar tersebut menyoroti kebuntuan perundingan gencatan senjata saat ini. Sumber pejabat AS menyebut, tekad Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk mempertahankan perbatasan Rafah atau koridor Philadelphia ini menjadi hambatan utama dalam perundingan.
1. Perlu penyelesaian gencatan senjata lebih cepat

Penemuan mayat enam sandera pada Minggu (1/9/2024) kemarin menyoroti kebutuhan mendesak untuk segera menyelesaikan perundingan di Gaza. Gedung Putih menegaskan, gencatan senjata harus segera disepakati dan semua sandera harus dipulangkan.
"Jelas apa yang terjadi selama akhir pekan menggarisbawahi betapa pentingnya menyelesaikan ini secepat mungkin," kata juru bicara Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby.
Enam sandera yang diduga dibunuh oleh Hamas ditemukan pada Minggu. Satu dari enam sandera tersebut merupakan warga Israel-Amerika. Penemuan mayat ini sekaligus memicu protes keras dari keluarga korban yang menganggap pemerintahan Netanyahu tak dapat melindungi warganya.
2. Proposal terakhir yang diusulkan AS

Washington menyatakan, pihaknya bersama mediator lainnya yakni Mesir dan Qatar telah menyusun draft proposal akhir. Proposal itu disebutnya tidak dapat dinegosiasikan.
Dilansir The Jerusalem Post, Israel menyatakan siap menerima proposal tersebut. Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan, Yuli Edelstein, mengatakan mereka harus menerima karena tidak dapat lagi dinegosiasikan.
"Saya pikir apa yang akan terjadi pada akhirnya adalah bahwa akan ada semacam kesepakatan terima atau tinggalkan yang akan diajukan oleh Presiden AS Joe Biden bersama dengan Mesir dan Qatar. Kemudian kami harus mengambil keputusan karena itu tidak bisa dinegosiasikan lagi," ungkapnya.
Edelstein berspekulasi bahwa draf terakhirnya kemungkinan besar ditulis oleh Qatar dan Mesir. Draft itu kemungkinan mencakup persyaratan yang kurang menguntungkan bagi Israel, jika dibandingkan dengan proposal penghubung yang diajukan AS pada bulan Agustus.
3. Gencatan senjata mandek gegara Israel

Sementara itu, Hamas yang sedari awal menginginkan gencatan senjata, menyalahkan Israel atas mandeknya upaya itu. Hamas berupaya memberikan tekanan bagi Netanyahu untuk segera menyetujui gencatan senjata, dengan taktik membunuh para sandera.
”Setiap penundaan dalam persetujuan dan komitmennya terhadap apa yang dicapai pada 7 Juli (dalam proposal gencatan senjata) berarti membahayakan nyawa lebih banyak sandera," kata anggota biro politik Hamas, Izzat Al-Rishq, dilansir Anadolu Agency.
Dilansir CNN, taktik terbaru Hamas ini semakin mengobarkan kemarahan masyarakat Israel. Pembunuhan terhadap enam orang sandera pada Minggu memicu protes di berbagai kota di Israel.
“para pengunjuk rasa menyalahkan Netanyahu karena, menurut pandangan mereka, mengorbankan warga negara Israel untuk tetap berkuasa,” lapor media tersebut.
Pada Senin, ribuan pekerja melakukan mogok kerja dan mengancam untuk menghentikan perekonomian Israel. Pada hari selanjutnya, gelombang protes terus membuncah di Kota Yerusalem, Tel Aviv, Hod HaSharon, Haifa, Herzliya, dan Ra'anana.