Burundi Berjuang Atasi Mpox Saat Sumber Daya Terbatas

- Lebih dari 170 kasus mpox terkonfirmasi di Burundi sejak Juli
- WHO menyatakan mpox sebagai darurat kesehatan global setelah varian clade 1b menyebar di Afrika
- Rumah Sakit Universitas King Khaled dirawat 59 pasien mpox, sementara Burundi hanya memiliki satu laboratorium untuk tes virus
Jakarta, IDN Times - Egide Irambona, 40 tahun, duduk bertelanjang dada di ranjang rumah sakit di kota Bujumbara, Burundi. Hampir seluruh tubuhnya, termasuk wajah, dipenuhi lepuh.
"Saya mengalami pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan. Rasanya sangat sakit sampai saya tidak bisa tidur. Lalu rasa sakitnya mereda di sana dan berpindah ke kaki saya," katanya kepada BBC.
Irambona menderita mpox atau cacar monyet. Ini adalah hari kesepuluh ia dirawat di Rumah Sakit Universitas King Khaled. Istrinya juga dirawat di fasilitas yang sama setelah tertular virus tersebut dari suaminya.
"Saya punya teman yang mengalami lepuh. Saya pikir saya tertular darinya. Saya tidak tahu itu adalah mpox. Syukurlah, ketujuh anak kami tidak menunjukkan tanda-tanda terkena penyakit ini," tambahnya.
1. Pasien mpox terus bertambah
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bulan ini telah menyatakan mpox sebagai darurat kesehatan global setelah varian baru dari penyakit tersebut, clade 1b, menyebar dengan cepat di Afrika. Jenis varian baru ini diperkirakan lebih mematikan dan mudah menular dibandingkan virus sebelumnya, dengan empat dari seratus kasus menyebabkan kematian.
Sejak bulan lalu, lebih dari 170 kasus mpox telah terkonfirmasi di Burundi. Negara ini berbatasan dengan Kongo, yang menjadi pusat wabah dan telah menyumbangkan sedikitnya 14 ribu kasus dan 450 kematian pada 2024. Sejauh ini, belum ada korban jiwa yang dilaporkan di Burundi.
Rumah Sakit Universitas King Khaled, tempat Irambona dirawat, adalah salah satu dari tiga pusat perawatan mpox di Bujumbura. 59 dari 61 ranjang yang tersedia sudah ditempati oleh pasien yang terinfeksi, dengan sepertiganya berusia di bawah 15 tahun.
Odette Nsavyimana, dokter yang bertanggung jawab di rumah sakit tersebut, mengatakan bahwa jumlah pasien mpox terus bertambah. Mereka telah mendirikan tiga tenda di luar rumah sakit. Satu untuk triase, satu untuk menampung kasus yang diduga mpox, dan satunya lagi untuk menangani kasus yang sudah dikonfirmasi sebelum dipindahkan ke ruang perawatan.
“Ini sulit, terutama ketika bayi-bayi datang. Mereka tidak bisa ditinggal sendirian, jadi saya harus menjaga ibu-ibu mereka di sini juga. Bahkan jika mereka tidak memiliki gejala… Ini adalah situasi yang sangat sulit,” ujar Nsavyimana.
2. Burundi hadapi keterbatasan sumber daya
Keterbatasan sumber daya menjadi kekhawatiran utama pejabat medis. Burundi hanya memiliki satu laboratorium yang dapat menguji sampel darah untuk virus tersebut, sementara alat tes yang tersedia tidak mencukupi, dan belum ada vaksin hingga saat ini.
“Ini adalah tantangan nyata. Fakta bahwa diagnosis hanya dilakukan di satu tempat memperlambat pendeteksian kasus baru," kata Liliane Nkengurutse, direktur nasional Pusat Operasi Darurat Kesehatan Masyarakat.
"Pusat kesehatan menelepon laboratorium dan mengatakan bahwa mereka memiliki kasus yang dicurigai, namun memerlukan waktu bagi tim dari laboratorium untuk turun ke tempat kasus yang dicurigai tersebut untuk mengambil sampel. Dan butuh lebih banyak waktu untuk merilis hasil tesnya. Kami membutuhkan sekitar 14 juta dolar AS (sekitar Rp215 miliar) untuk dapat meningkatkan respons kami ke tingkat berikutnya,” jelasnya.
Pada Selasa (20/8/2024), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Afrika mengumumkan bahwa vaksinasi mpox kemungkinan akan dilakukan di Kongo dan beberapa negara Afrika lainnya dalam beberapa hari mendatang. Vaksin tersebut akan dikirimkan oleh Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE), produsen vaksin Bavarian Nordic, dan Jepang.
3. Kesadaran masyarakat tentang mpox juga masih terbatas
Bujumbura hanya berjarak 20 menit dari perbatasan Kongo, namun masyarakat tampaknya belum sepenuhnya menyadari risiko wabah yang sedang terjadi. Kota tersebut masih dipadati oleh orang-orang yang melakukan aktivitas sehari-hari. Jabat tangan, pelukan, dan kontak fisik lainnya masih menjadi hal biasa.
“Banyak orang tidak memahami betapa gawatnya masalah ini. Bahkan ketika ada kasus, orang-orang masih berbaur,” kata Nkengurutse.
Saat diwawancara oleh media, banyak warga Bujumbura tidak mengetahui apa itu mpox, sementara beberapa lainnya mengaku tidak menyadari bahwa penyakit itu telah menyebar di negara mereka.
“Saya pernah mendengar tentang penyakit ini, tapi saya belum pernah melihat ada orang yang menderita penyakit ini. Saya hanya melihatnya di media sosial,” kata salah seorang warga.
“Saya tahu ini berdampak pada bayi dan remaja. Saya takut akan hal itu, tapi bukan berarti saya akan tinggal di rumah saja. Saya harus bekerja. Keluarga saya harus makan,” ujar warga lainnya.